Mencari Makna Hidup di Negeri yang Sibuk Bertahan


Kita hidup di zaman yang gemar menampilkan keberhasilan. Sosial media menggiring kita pada panggung di mana semua orang tampak sedang berhasil atas sesuatu: promosi jabatan, menikah, punya bisnis, punya rumah. Semua berlomba memberi kabar baik, seolah-olah waktu tidak pernah cukup bagi mereka yang hanya diam. Namun di antara semua riuh tepuk tangan dan pencapaian itu, ada yang masih mencoba menata diri, memunguti serpih-serpih harapan di tengah keraguan yang tak pernah sepenuhnya reda.

Tak semua orang berangkat dari garis yang sama. Ada yang tumbuh dari tanah yang subur penuh dukungan, ada pula yang memulai dari tempat yang tandus, di mana ia harus menjadi petani bagi benih-benih mimpinya sendiri. Lihatlah dua orang yang seumur hidupnya dipisahkan oleh keadaan. Yang satu bekerja karena ingin belajar, yang satu belajar sambil terus bekerja demi biaya makan. Yang satu mengejar nilai, yang satu mengejar nafkah. Maka ketika akhirnya mereka tiba di titik yang berbeda, bukan karena yang satu lebih hebat, tapi karena jalan yang dilalui memang tak pernah seragam.

Seorang teman pernah berkata, "Aku terlambat lulus kuliah, malu rasanya melihat teman-teman sudah pakai toga lebih dulu." Tapi siapa yang bisa mengukur makna dari sebuah toga jika selama prosesnya ia tumbuh jadi manusia yang lebih mengerti arti hidup? Ada pula yang baru mendapat pekerjaan pertama di usia 28, ketika teman-teman sudah memikirkan pensiun dini. Tapi di usia itulah ia lebih tahu cara menghargai rezeki, lebih tahu bagaimana memperlakukan bawahannya nanti, karena ia pernah menjadi orang yang ditolak berkali-kali tanpa penjelasan.

Sama halnya seperti benih yang ditanam dalam tanah. Ada yang tumbuh dalam hitungan minggu, ada yang butuh berbulan-bulan. Bambu misalnya, baru menunjukkan batangnya setelah lima tahun hanya menumbuhkan akar. Tapi sekali ia tumbuh, tingginya melesat jauh mengalahkan banyak tanaman lain. Kita sering lupa, bahwa yang tak tampak oleh mata bukan berarti tak sedang terjadi. Barangkali hari ini kamu hanya sedang memperkuat akar.

Namun menjadi kuat di negeri yang sibuk bertahan bukan perkara mudah. Di negeri seperti ini, hidup bukan soal memilih, tapi lebih sering tentang bertahan. Di mana pekerjaan bukanlah panggilan jiwa, melainkan kebutuhan perut. Di mana kuliah bukan karena ingin tahu, tapi karena ijazah dianggap satu-satunya jalan agar bisa "berharga". Maka jangan heran jika banyak orang terlihat hidup, padahal sedang tenggelam dalam rutinitas yang bahkan tak mereka mengerti tujuannya.

Lihatlah ibu-ibu yang membuka warung kecil di sudut jalan demi anak-anaknya bisa sekolah. Lihat pula ayah yang memanggul semen dari pagi hingga petang demi dapur tetap mengepul. Mungkin mereka tak sempat berbicara soal self healing atau passion, tapi bukan berarti mereka tak memahami hidup. Justru dari mereka kita belajar, bahwa mencintai kehidupan tak selalu harus dengan meraih pencapaian besar. Kadang, cukup dengan tidak menyerah hari ini, itu sudah termasuk pencapaian yang luar biasa.

Dan kalau kamu merasa belum "sampai ke mana-mana", bukan berarti kamu diam di tempat. Bisa jadi kamu sedang dipersiapkan untuk sesuatu yang jauh lebih besar. Kesuksesan itu bukan lomba lari cepat. Ia lebih menyerupai perjalanan jauh yang menguji bukan hanya tenaga, tapi kesabaran, ketulusan, dan arah.

Tak semua orang harus sukses di usia 25. Beberapa baru menemukan panggilannya setelah usia 30, 40, bahkan 50. Vera Wang baru jadi desainer sukses setelah usia 40. Colonel Sanders baru membuka KFC di usia 65. Jangan biarkan dunia memperkecil makna hidupmu hanya karena kamu belum viral atau belum dianggap berhasil oleh standar umum.

Kita ini seperti matahari terbit—datangnya selalu pasti, meski waktunya berbeda tergantung di belahan bumi mana ia menyinari. Maka jangan bandingkan sinarmu dengan orang lain. Mungkin kamu bukan fajar yang disambut pujian, tapi kamu bisa jadi senja yang membuat banyak orang akhirnya pulang.

Hidup bukan sekadar tentang siapa yang lebih dulu mencapai, tapi siapa yang tetap bertahan tanpa kehilangan makna. Sebab di balik setiap perjuangan, ada pelajaran. Dan di balik setiap pelajaran, ada pertumbuhan. Maka biarlah waktumu datang dengan tenang, karena saat ia datang, kau akan lebih siap, lebih bijak, dan lebih dalam mencintai hidup ini—tak hanya karena hasilnya, tapi juga karena proses yang telah menempamu.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Balasan
    1. Thank you for reading. It truly means a lot to me when the words can reach someone's heart! Semoga bisa jadi pengingat kalau kita semua memang sedang di perjalanan, ya 🙌

      Hapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)