Dari dulu hingga kini, Tan Malaka menjadi tokoh pemikiran anak-anak muda yang gemar berfilsafat. Pemikirannya dianggap yang termaju bahkan melampaui zamannya. Ia tidak hanya berbicara tentang kemerdekaan politik, tetapi juga tentang pembebasan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Gagasannya mengenai Madilog—Materialisme, Dialektika, dan Logika—menjadi fondasi bagi banyak kaum intelektual muda yang ingin memahami dunia dengan cara yang lebih kritis dan ilmiah.
Dalam sejarah pergerakan Indonesia, Tan Malaka kerap dipandang sebagai sosok revolusioner yang berani melawan arus. Ia menentang kolonialisme dengan gagasan yang tajam dan tindakan yang konkret, meskipun sikapnya sering kali membuatnya terasing, bahkan dari lingkaran pergerakan nasional itu sendiri. Namun, justru di situlah letak keistimewaannya: ia tidak pernah tunduk pada kompromi yang bertentangan dengan prinsipnya. Ia benar-benar adalah wajah seorang idealis dengan pemikiran gilanya yang selalu berdiri tegak meski seisi dunia terang-terangan melawan.
Naas, di zaman sekarang ini tidak ada ruang untuk idealisme mati semacam itu. Pemikirannya, yang dulu dianggap terdepan, kini hanya menjadi bahan bacaan di lingkaran kecil akademisi atau segelintir orang yang masih mencoba berpikir kritis. Masyarakat yang dulu ia perjuangkan kini lebih sibuk bertahan hidup dalam pusaran kapitalisme yang semakin mencekik.
Madilog, yang seharusnya menjadi pisau analisis untuk membebaskan diri dari kebodohan dan dogma, kini tenggelam di antara tren dangkal dan wacana instan. Kaum muda yang dulu haus akan perubahan kini lebih tertarik pada kenyamanan dan ilusi kemapanan. Revolusi yang ia cita-citakan telah lama dikubur, bukan oleh musuh, tetapi oleh ketidakpedulian.
Tan Malaka berjuang tanpa kenal lelah, hanya untuk melihat namanya terlupakan atau sekadar disebut sebagai catatan kaki dalam sejarah. Idealisme yang ia bawa kini dianggap utopis—jauh dari kenyataan yang pragmatis dan penuh kompromi. Mungkin, jika ia hidup di era ini, ia akan kembali tersisih, dianggap terlalu keras kepala untuk dunia yang lebih memilih jalan pintas dan kepastian instan. Ya, begitulah.
Coba sekarang kita merefleksi. Ia, saya, dan kamu mungkin bagian dari deretan pemikir yang ingin mengubah dunia. Jika iya, pernahkah kamu berpikir bahwa semuanya telah selesai? Sudah bukan waktunya untukmu berekspektasi besar dengan idealis mati yang tidak akan pernah menemukan tempatnya di realitas yang serba transaksional ini. Dunia tak lagi membutuhkan revolusi, hanya stabilitas dan kelangsungan—walaupun itu berarti tunduk pada sistem yang sama yang dulu ingin dirombak
Pemikiran kita, semurni apa pun niatnya, hanya akan berakhir sebagai wacana. Tulisan-tulisan panjang, diskusi penuh semangat, dan segala usaha untuk menghidupkan kembali gagasan perubahan hanyalah gema di ruang hampa. Sebab, manusia telah memilih jalannya sendiri: jalan yang lebih mudah, lebih nyaman, dan lebih bisa diprediksi.
Kita bisa berteriak sekeras mungkin tentang ketidakadilan, tentang perlunya melawan, tentang cita-cita besar yang pernah disuarakan Tan Malaka. Tapi lihatlah sekeliling—adakah yang benar-benar peduli? Kebanyakan hanya akan mengangguk, tersenyum, lalu kembali tenggelam dalam urusan masing-masing.
Mungkin inilah akhirnya, karena tidak semua pemikir dapat mewujudkan idealismenya, bukan? Beberapa dari kita mungkin hanya ditakdirkan untuk bermimpi dan berdialog. Terus mendamba akan dunia utopis yang kita inginkan. Namun, bagi sebagian orang itu tetaplah suatu kecukupan.
0 Komentar