Empat tahun sudah MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) berjalan sejak ditetapkannya pada Januari 2020 lalu. Tapi, sejak itu pula timbul sebuah pertanyaan yang mendasar, apakah program ini sudah benar-benar memerdekakan perguruan tinggi sebagaimana yang digembor-gemborkan oleh Kemendikbud ristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) Nadiem Makariem?
Banyak program yg dijanjikan terlaksana, seperti pertukaran pelajar, konsep magang, mahasiswa boleh mengambil sks di prodi lain dan sebagainya yang dianggap mampu memberikan kembali kebebasan kepada perguruan tinggi untuk aktif terlibat dalam wacana publik. MBKM memang sejak awal dicanangkan sebagai sebuah konsep yg dibawa dengan tujuan untuk mengintegrasikan kampus agar dapat menjadi lebih baik. Namun, baik untuk siapa?
Untuk lebih jelas, kita akan menilik secara tajam terkait empat poin kebijakan program tersebut.
1. Kewenangan Pendirian Program Studi Baru
Salah satu kewenangan yang diberikan program MBKM adalah kemudahan bagi tiap-tiap perguruan tinggi untuk membuka atau mendirikan program studi (prodi) baru. Kewenangan ini diberikan dengan syarat bahwa perguruan tinggi tersebut telah berakreditasi A atau B serta memiliki mitra dari perusahaan, startup teknologi, atau organisasi kelas dunia. Penyusunan kurikulum prodi tersebut juga harus diikutcampurkan dengan mitra terkait sebagai salah satu bukti adanya kerja sama.
Adanya keterlibatan pihak mitra dalam penyusunan kurikulum seolah mengisyaratkan bahwa pembelajaran pada perguruan tinggi haruslah berdasar pada logika pasar. Anggapannya, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen mitra tersebut. Jelas secara gamblang, Nadiem di sini mengatakan bahwa saat ini perguruan tinggi cukuplah berlomba-lomba untuk menjadi pabrik penghasil tenaga kerja semata, bukan sebagai wadah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Perlu digaris bawahi juga, meski penyusunan kurikulum sudah melibatkan mitra untuk melihat kondisi riil bidang terkait, belum tentu perguruan tinggi yang membuka prodi baru memiliki kompetensi memadai dan mampu memfasilitasi para mahasiswanya untuk bersaing secara pengetahuan dan keterampilan. Hal ini bahkan dapat menyebabkan persaingan di antara mahasiswa hanya untuk mencari kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan berdasarkan reputasi mitra perguruan tinggi mereka, bukan berdasarkan kualifikasi dan prestasi akademis yang sebenarnya.
Kampus yang merdeka seharusnya mampu mengembalikan peran perguruan tinggi sebagai locus yang memfasilitasi berbagai diskursus publik. Cukuplah pendidikan vokasi yang menjadi penyedia tenaga kerja siap pakai terhadap tuntutan industri sebagaimana semestinya. Nadiem ayalnya perlu mengembalikan makna inti dari kata “merdeka” pada kebebasan akademis dan kontrol sosial. Perguruan tinggi seharusnya cukup diberi kebebasan mengkritik kebijakan pemerintah dan menentang berbagai upaya yang bertujuan merendahkan peran perguruan tinggi karena begitulah seharusnya fungsi Universitas sebagai bagian dari masyarakat sipil. Tanpa langkah-langkah tersebut, perguruan tinggi hanya akan berfungsi sebagai lembaga penyedia tenaga kerja bagi industri, institusi tanpa nyawa yang kosong, dan kurang menghasilkan gagasan baru.
2. Program Re-Akreditasi Otomatis
Pemberian kemudahan bagi perguruan tinggi untuk mengajukan akreditasi juga menjadi salah satu garis besar dari kebijakan MBKM. Perguruan tinggi dengan ini diberikan kebebasan untuk mengajukan akreditasi atau tidak, sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Perguruan tinggi memang tidak lagi terbebani dengan urusan teknis administratif birokratis, namun poin yang perlu menjadi sorotan dalam kebijakan ini ada pada siapa yang akan memberikan akreditasi tersebut.
Nadiem menjelaskan bahwa penilaian akreditasi akan dilakukan dengan mengutamakan peran masyarakat industri dan asosiasi profesi, bukan pemerintahan. Sistem akreditasi ini jelas berorientasi pada industri (Wijiharjono, 2021). Bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang dimiliki oleh konglomerat, tentu tidak ada masalah akan hal tersebut. Mereka pastinya memiliki akses terhadap sumber daya manusia dan sumber daya lain yang terhubung langsung dengan industri, baik di tingkat nasional maupun internasional. Sayangnya, PTS yang kebanyakan berukuran kecil mengalami kesulitan dalam hal pendanaan. Pada akhirnya, hal ini hanya akan meningkatkan beban biaya mahasiswa dan belum tentu mahasiswa mau menggelontorkan uang banyak hanya demi berkuliah di PTS kecil tersebut. Hal ini bahkan sudah dapat terlihat dari data Kemenristekdikti yang telah menutup 130 PTS sepanjang 2016-2019 dengan alasan salah satunya kekurangan mahasiswa ajar.
Hal ini perlu lah menjadi evaluasi. Pemerintah harus memfasilitasi kerja sama antara industri dan PTS tersebut, bukan melepasnya. Pemerintah harus mampu mendorong sektor industri untuk berpartisipasi aktif dalam sektor pendidikan, bukan sebaliknya dimanfaatkan untuk memperluas pengaruhnya dalam jaringan bisnisnya.
3. Kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH)
Kemudahan lain yang ditawarkan MBKM pada perguruan tinggi adalah dipermudahnya administrasi bagi seluruh PTN agar dapat menjadi PTN BH (Badan Hukum). Bagi perguruan tinggi, PTN BH adalah sebuah hak veto untuk memperoleh otonomi dalam pengelolaan keuangan, administrasi, dan penyelenggaraan pendidikan. Sebagai badan hukum, perguruan tinggi dapat melakukan kerjasama dengan pihak eksternal, seperti industri atau lembaga lainnya tanpa adanya intervensi dari pemerintah.
Perguruan tinggi yang nantinya telah mendapat gelar PTN BH, tak jarang menempatkan biaya yang tinggi bagi mahasiswanya untuk dapat berkuliah di sana. Hal tersebut didasarkan pada Permenristekdikti No. 39 tahun 2017 dalam pasal 9 yang menjelaskan bahwa Perguruan tinggi diperbolehkan melakukan pemungutan biaya Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) kepada mahasiswa yang diterima dalam perguruan tinggi melalui jalur mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa jalur kerjasama dan mahasiswa seleksi ujian mandiri. Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) atau nama lain yang serupa (Sumbangan Pembangunan Universitas, dll.) tentunya menjadikan beban tersendiri bagi para calon mahasiswa.
Tak hanya itu, hak otonom PTN BH juga didasarkan pada Undang-Undang Perguruan Tinggi No. 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi yang mempertegas kebijakan SPI dengan bertujuan agar perguruan tinggi dapat secara mandiri melakukan pengelolaan keuangan dan segala keperluaan agar tidak lagi bergantung pada dana yang disediakan oleh pemerintah pusat maupun daerah sesuai kebutuhan perguruan tinggi. Hal ini justru bertentangan dengan pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang secara eksplisit menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menjamin setiap warga negara memperoleh pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Hal ini jelas dapat kita lihat sebagai ketidakmampuan pemerintah menjamin pendanaan pendidikan pada setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan tinggi yang kemudian menjadikan beban pemerintah tersebut dialihkan kepada setiap perguruan tinggi yang ada. Pemerintah memaksa perguruan tinggi untuk mencari solusi yang konkret dan logis dalam menyelesaikan masalah tesebut. Menariknya, dalam hal ini pemerintah tidak lagi menjadikan pendidikan sebagai sebuah keperluan sosial, namun sebagai sebuah keperluan individu yang wajib ditanggung oleh masing-masing orang. Tak jarang, para calon mahasiswa yang berasal dari keluarga menengah ke bawah akan sangat terbebani dengan pembiayaan tersebut.
Musayyidi (2020) dalam penelitiannya berjudul Menyoal Komersialisasi Pendidikan di Indonesia menyebut bahwa privatisasi pendidikan (berupa PTN BH dan BLU) yang dilakukan oleh Pemerintah ini telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan terhadap pasar. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotakan berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin. Dampak psikologis bagi mereka yang terbebani secara ekonomi pun akan terjadi.
Kalimat ”Pendidikan bermutu itu mahal” ironisnya sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Sarvitri & Sunandar (2020) juga telah menyebutkan bahwa seharusnya institusi pendidikan merupakan public goods yang harus dapat diakses tanpa perlu persaingan (non rivalry) dan tanpa perkecualian (non excludable). Pada kenyataannya, justru pendidikan dimasukan ke dalam ranah common goods sehingga membatasi masyarakat untuk mendapatkan akses pendidikan. Anehnya, hal ini tetap saja dilakukan dan justru diberikan dorongan melalui program MBKM.
Alhasil pemerintah membuat program beasiswa sebagai dalih atas ketidakmampuannya menjamin pendanaan pendidikan terhadap keluarga menengah ke bawah tersebut. Sayangnya, dalam pelaksanaannya justru tak jarang beasiswa tersebut diberikan pada mahasiswa yang seharusnya dinilai "mampu". Hal ini terbukti pada data yang dikeluarkan BPK pada 2021 lalu yang menyebut bahwa dana beasiswa PIP (Program Indonesia Pintar) sebesar Rp 2,86 triliun yang diberikan kepada sebanyak 5.364.986 penerima ternyata tidak tepat sasaran, karena diberikan kepada yang tidak layak atau tidak diusulkan menerima. Selain itu, sejumlah 2.455.174 siswa yang memiliki Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan/atau berasal dari keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH) atau Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) kehilangan kesempatan karena tidak dimasukkan dalam daftar penerima manfaat PIP.
4. Hak Belajar di Luar Prodi selama Tiga Semester
Kebijakan ini memberikan kewajiban bagi tiap perguruan tinggi untuk memberikan hak bagi mahasiswanya secara sukarela mengambil ataupun tidak sks di luar kampusnya sebanyak dua semester atau setara 40 sks serta ditambah mengambil satu semester dari total semester yang harus ditempuh di prodi lain di dalam kampusnya (tidak berlaku untuk prodi kesehatan).
Ada pertanyaan yang cukup menggelitik sebenarnya, jika memang kebijakan merdeka belajar dan kampus merdeka ini dianggap sebuah solusi yang efektif dalam meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan mahasiswa, lalu apakah pembentukan jurusan atau program studi masih relevan dalam konteks ini, mengingat sistem pendidikan tingkat perguruan tinggi itu sudah menjurus kepada sesuatu bidang keilmuan yang lebih spesifik? Kemudian, apakah dapat dinyatakan bahwa gelar atau titel sarjana yang diperoleh tidak sepenuhnya mencerminkan keaslian atau kemurniannya sesuai dengan bidang keilmuan jurusannya?
Dalam implementasi MBKM, saya rasa ini merupakan tantangan tersendiri untuk menilai kompetensi mahasiswa yang memilih mata kuliah lintas program studi atau bahkan lintas fakultas. Sementara itu, visi, misi, dan tujuan pembelajaran setiap program studi seharusnya sudah mengarahkan mahasiswa agar diharapkan mampu menguasai bidang ilmu tertentu dan menjadi profesional dalam disiplin ilmunya masing-masing. Penerapan kebijakan MBKM yang memungkinkan fleksibilitas dalam pemilihan mata kuliah berpotensi mengakibatkan lulusan tidak memiliki kompetensi yang spesifik sesuai dengan disiplin ilmunya. Hal ini mungkin masih bisa dilakukan jika mahasiswa diberi keleluasaan untuk mengambil mata kuliah hanya dari program studi lain yang memiliki kesamaan dalam rumpun ilmu.
Lebih lagi, hak mahasiswa untuk mengambil sks di luar kampus secara sukarela dinodai dalam pelaksanaannya, seperti halnya kasus pemaksaan program MBKM kepada para mahasiswa oleh UNJ dan juga UPI. Mengutip laman lpmdidaktika.com, Anisa menjelaskan bahwa terjadi maladministrasi dan keterpaksaan mahasiswa dalam mengikuti salah satu program MBKM. Para mahasiswa dari kedua kampus didaftarkan tanpa persetujuan mahasiswa terkait untuk melakukan pertukaran pelajar. Munculnya wacana akan adanya kemungkinan hambatan dalam proses kelulusan di UPI jika mahasiswa tidak memiliki riwayat partisipasi dalam MBKM juga cukup mengkhawatirkan. Pada akhirnya, hadirnya program MBKM sebagai Indikator Kinerja Utama (IKU) perguruan tinggi telah berdampak pada cacatnya tata kelola MBKM dan pemaksaan mahasiswa.
Dengan demikian, perlu dilakukan evaluasi mendalam terhadap implementasi MBKM untuk memastikan apakah program ini telah benar-benar memenuhi tujuan awalnya selama ini? Saya pikir yang seharusnya pemerintah lebih utamakan adalah pengembangan karakter kampus. Jika hanya fokus pada konsep Kampus Merdeka untuk melakukan perbaikan dalam hal administrasi atau hal-hal yang berkaitan dengan kemudahan administrasi, maka biaya pendidikan akan cenderung meningkat dan semakin tidak terjangkau. Saat ini, langkah yang harus diambil adalah dengan memberikan subsidi biaya pendidikan melalui intervensi pemberian fasilitas kemudahan dari pemerintah serta peningkatan alokasi anggaran pendidikan dan riset yang ditambah dan diawasi dengan akuntabilitas yang baik. Akses pendidikan harus dibuka sebanyak mungkin kepada mereka yang berada dalam ekonomi rendah, terutama yang sangat sulit untuk mencapai pendidikan tinggi, agar karakter bangsa dapat ditingkatkan. Saat ini, penting untuk mengubah mindset karena kita sudah memasuki era 4.0 di mana transformasi data menjadi sangat penting. Jika masih bergantung pada era industri dan informasi, kita akan tertinggal jauh.
0 Komentar