Saya rasa siapa pun yang ikut menyaksikannya juga dapat menilai sendiri proses debat yang berlangsung vulgar itu. Calon Presiden nomor urut dua terutamanya, sebagai Menhan, kebijakannya banyak yang dihajar. Prabowo mulai diserang Anies bahkan sejak mulai putaran pertama penyampaian visi misi dan "cinta bertepuk sebelah tangan"-nya dengan Ganjar yang akhirnya mematahkan hatinya.
Evaluasi debat oleh Presiden RI Joko Widodo, yang kata Mahkamah Konstitusi (MK) sah-sah saja untuk melakukan cawe-cawe dalam Pilpres 2024 padahal tidak etis, pasang badan dengan menyampaikan bahwa debat ketiga itu memang kurang mengedukasi penonton, substansi visi dari setiap calon presiden masih belum terlihat, dan jalannya debat justru memperlihatkan saling serang antarcapres dengan motif personal. Ia sebenarnya membenarkan untuk motif saling serang dalam debat diperbolehkan, namun seharusnya hal itu hanya menyasar pada kebijakan dan visinya saja.
Debat sekelas calon Presiden ini seakan-akan hanya menjadi pertunjukan drama tambahan di kancah pertelevisian nasional. Masyarakat hanya mendapat hiburan baru dengan bungkusan pilpres, tapi tidak dengan haknya untuk memhami langkah-langkah konkret dari para calon untuk merealisasikan visi mereka. Bahkan, konflik-konflik Global layaknya di Timur Tengah atau mungkin bagaimana visi para capres dalam memanfaatkan potensi geografis Indonesia seperti potensi selat di Indonesia yang digunakan oleh 58% dunia untuk jalur perdagangan tidak dibahas sama sekali.
Bivitri Susanti, seorang pakar hukum tata negara, menyebut bahwa kurangnya substansi dalam debat yang berlangsung sebenarnya dipengaruhi oleh format debat. Katakan saja fungsi Panelis yang hanya sebatas sebagai pembuat pertanyaan, moderator yang cuman sebagai Time keeper dan "MC" acara, serta para capres yang dilarang untuk memberikan sanggahan di tengah-tengah waktu ketika jawaban yang diberikan sudah dirasa out of topic. Tidak ada yang benar-benar bisa diharapkan dari debat yang semacam itu.
Jika melihat dari sisi media, tidak ada hal lain selain konflik yang ditinggalkan paska debat itu. Para pendukung capres seolah-olah saling mem-framing jagoannya masing-masing, dari mulai yang ter-bully melawan yang kritis, hingga satu putaran melawan satu koalisi. Disaat yang sama, kaum sofis seolah-olah muncul di tengah-tengah debat tersebut.
Seni Sofisme dari Dalam dan Luar Debat
Kaum Sofis sebenarnya adalah orang-orang intelektual yang berpergian dari kota ke kota dan tiba di Athena pada abad V SM. Mereka memiliki reputasi sebagai guru retorika berbayar. Semua orang bisa berguru dengan mudah kepada mereka asalkan punya uang. Tak ayal, orang-orang di kota demokrasi seperti Athena memang sangat membutuhkan keterampilan retorika sebagai modal awal memasuki politik.
Berkaca pada debat ketiga kemarin yang hanya menimbulkan konflik dari kalangan para pendukung maupun capresnya, kaum Sofis nyatanya telah lama berpendapat bahwa pemikiran sesungguhnya hanya akan menimbulkan konflik saja. Namun, apakah benar yang dibawakan dalam debat tersebut adalah murni pemikiran, bukan sentimen personal?
Kaum Sofis, seperti yang digambarkan dalam dialog-dialog Plato, tidak memiliki ketertarikan pada kebenaran, pengetahuan, atau kebajikan. Sofisme adalah seni retorika yang memungkinkan seseorang meraih popularitas berdasarkan pendapatnya terlepas dari memandang apakah itu benar atau tidak. Hal ini sedikit tergambar pada debat capres lalu.
Anies sempat menyatakan bahwa perdagangan manusia, perdagangan anak, dan perdagangan perempuan telah mencapai lebih dari tiga ribu korban. Sementara, menurut data Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada periode bulan 5 Juni - 21 September 2023 lalu, jumlah korban yang berhasil diselamatkan hanya sebanyak 2.710 orang, yang mana tidak lebih dari tiga ribu orang kala itu.
Meski memang jika dalam matematika angka 27 dapat dibulatkan menjadi 30 namun nampaknya kurang pantas jika diberlakukan di dalam suatu data, terlebih dalam data yang akan digunakan pada debat capres. Socrates dan Plato mengkritik pendekatan ini karena dapat menyebabkan manipulasi dan mengabaikan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengejar pengetahuan dan kebenaran yang sejati.
Berbeda dengan Anies yang ahli dalam ber-retorika, Prabowo justru sebaliknya. Ia sama sekali tidak bisa memberikan jawaban sesuai dengan konteks. Gagasannya cenderung keluar dari substansi dan sebagian besar yang disampaikannya hanyalah cita-cita ideal dari pertahanan nasional dan politik negara yang mana tidak memerlukan seorang capres untuk menyampaikan hal itu.
Jawaban-jawaban yang seharusnya disampaikan sebagai sanggahan, membenarkan data, dan jawaban dalam debat, justru baru diberikan di luar arena debat, baik dalam kampanye maupun diskusi-diskusi politik melalui juru bicara tim kemenangan 02 itu. Bahkan, dengan tidak etisnya menggunakan umpatan "minder" dan "goblok" dalam salah satu orasinya.
Sementara, Ganjar lebih memilih bermain late-game dengan seolah memposisikan dirinya sebagai penengah meski pada akhir ia lebih ikut menyerang ke arah Prabowo. Tak lama kemudian, muncul lah narasi koalisi Anies-Ganjar untuk dua putaran di beberapa media.
Di sisi lain, image Anies yang kritis, Prabowo yang ter-bully, dan Ganjar yang mulai berkoalisi denan Anies terus digaungkan diberbagai media sosial. Ketiga tim nasional kemenangan para capres terus berusaha meyakinkan publik akan kebenaran yang seharusnya terjadi. Ada yang menggaungkan bahwa Prabowo tidak siap dalam melakukan debat dan sebagian menimpali dengan perilaku tak etis yang memberikan skor kepada Menhan.
Nyatanya, relativisme yang digaungkan kaum Sofis sudah melekat pada kontestasi politik 2024 ini. Kebenaran dan moralitas sangatlah subjektif dan tergantung pada orang atau kelompok yang meyakininya. Hal ini lah yang coba digapai ketiga pihak, yaitu memperbesar cakupan kelompok yang meyakini kebenaran dan moralitas yang mereka buat sendiri.
Kontestasi Politik yang Seharusnya
Mengapa perhelatan politik menjelang pemilu serentak 2024 ini tidak bisa menjadi lebih baik? Bahkan Prabowo dan Anies saja tidak bersalaman setelah debat usai.
Dari awal, berbagai drama dan intrik sudah mulai terasa sebelum penetapan capres dan cawapres. Teringat saja Pak Jokowi yang berpindah haluan dari PDI-P bertepatan dengan momentum pemilu, kemudian masalah gugatan batas usia cawapres, drama penetapan pasangan Anies, pengangkatan Kaesang menjadi Ketua Umum PSI tanpa pengkaderan sama seperti AHY, dan isu-isu kecurangan pemilu yang terus dihembuskan PDI-P kala itu. Jujur saja, meritokrasi kini menjadi barang langka dalam kancah dunia perpolitikan.
Sujiwo Tejo, dalam Menuju Pemilu yang disiarkan TVOne, mempertanyakan serangan yang dilancarkan masing-masing pihak saat debat. Apakah pertarungan itu ditujukan agar bisa melayani masyarakat atau justru hanya untuk mendapat kekuasaan?
Nampaknya, debat Aidit dan Natsir di Konstituante dulu lebih menarik untuk ditelusuri daripada debat capres-cawapres ini. Sebab, debat diantara mereka sepenuhnya berisi gagasan-gagasan dan idealisme yang kuat, bukan sentimen semata.
Lebih lagi, kata "baper" belum ditemukan tempo dulu. Jadi, Ketua Umum Partai Masyumi dan PKI itu tidak pernah membawa emosinya keluar dari arena debat, mereka tetap terlihat akur-akur saja.
Tak hanya Natsir, Aidit juga memiliki hubungan yang baik dengan Isa Anshary, salah satu tokoh Masyumi. Sekonyong-konyongnya Isa Anshary membenci komunis hingga membentuk Front Anti-Komunis dan mengetuainya, tapi dalam Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari, keduanya tetap bersahabat baik menurut Ajip Rosidi.
Para Capres-Cawapres kelihatannya harus banyak belajar lagi dari para tokoh nasional itu. Mereka bisa menghargai perbedaan pendapat tanpa memengaruhi hubungan baik pribadi. Dalam debat, gagasan-gagasan tajam dan substansi dari apa yang ingin disampaikan memang harus ada dan dapat menyentuh hati serta pikiran orang-orang yang menyaksikan debat, bukan hanya emosinya saja. Inilah kontestansi politik yang seharusnya.
0 Komentar