Palestina, saat ini, menjadi peristiwa tergelap yang dapat dibayangkan dan dialami oleh masyarakat modern. Bagaimana tidak? Sejak Sabtu (7/10/2023) lalu, angka kematian dan korban terluka dari warga sipil terus bertambah. World Health Organization (WHO) mengklaim bahwa di Jalur Gaza, serangan udara dan kurangnya pasokan medis, makanan, air dan bahan bakar telah menguras sistem kesehatan yang sejak awal sudah kekurangan sumber daya. Dalam waktu kurang dari 60 hari, jumlah rumah sakit yang berfungsi menurun dari 36 menjadi 18 unit. Dari jumlah tersebut, tiga rumah sakit hanya dapat memberikan pertolongan pertama, sedangkan rumah sakit lainnya hanya memberikan layanan parsial.
Dalam artikel berjudul "WHO appeals for protection of the health system from further attacks and degradation of its capacity" yang terbit pada Senin (4/12/2023) lalu menyatakan bahwa sudah terdapat sekitar 1,9 juta orang, hampir 80% populasi Gaza, diperkirakan menjadi pengungsi internal. Perintah evakuasi baru-baru ini mencakup 20% wilayah Khan Younis dan wilayah timur Khan Younis, yang sebelum terjadinya penyerangan masing-masing dihuni oleh hampir 117.000 dan 352.000 orang.
Pada Selasa (5/12/2023), Richard Peeperkorn, perwakilan WHO di wilayah pendudukan Palestina, dalam konferensi pers Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa menyatakan bahwa hampir 16.000 orang tewas, lebih dari 60 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak sementara lebih dari 42.000 orang lainnya terluka. "Rata-rata satu anak terbunuh setiap 10 menit di Gaza," ucapnya.
Standar Ganda yang Membelenggu Mata PBB
Tidak dapat disangkal bahwa krisis kemanusiaan yang tengah terjadi di Palestina mencerminkan kegagalan sistem internasional dalam menjaga hak asasi manusia dan mencegah konflik berskala besar. Jelas, peristiwa-peristiwa tersebut adalah hasil yang lahir dari kegagalan PBB dalam mewujudkan visinya, yaitu menjamin perdamaian dan keamanan dunia.
“Sudah tak terhitung berapa kali kita berdiri di aula ini untuk mengurangi penderitaan saudara-saudari kita di Palestina. Tak terhitung berapa kali kita mengadakan pertemuan darurat SMU PBB mengenai nasib rakyat Palestina. Namun tak terhitung pula berapa kali harapan kita pupus karena kepentingan politik sempit," - Menlu RI Retno Marsudi dalam Sidang Majelis Umum PBB (27/10/2023)
Mengutip dari tempo.co, Craig Mokhiber, Mantan Direktur Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa atau HAM PBB (OHCHR) di New York, menjelaskan lebih lanjut bahwa alasan mengapa Israel menyatakan niat untuk melakukan genosida adalah karena merasa tidak akan diminta pertanggungjawaban oleh sekutu-sekutunya.
Mokhiber juga menjelaskan bahwa untuk membuktikan adanya niat genosida, diperlukan dokumen dan arsip rahasia pemerintah sebagai indikator. Yang menarik dalam kasus Gaza adalah bahwa para pejabat negara yang terlibat telah secara terang-terangan menyatakan niat mereka, membuatnya dapat dibuktikan tanpa perlu menggali arsip.
“Di sini kita mempunyai pernyataan yang jujur dan jelas mengenai niat melakukan genosida oleh para pejabat senior Israel, baik publik maupun pejabat, termasuk presiden, perdana menteri, menteri senior dan pejabat senior militer,” - Craig Mokhiber dalam Al-Araby Al-Jadeed (3/12/2023)
Ia juga mengatakan bahwa dalam pandangannya, Israel merasa memiliki imunitas yang kuat karena dukungan dan perlindungan yang diterima dari Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa pada forum internasional.
Mokhiber, yang telah menginvestigasi situasi HAM di Palestina sejak 1980-an, mengungkap bahwa dalam setiap kasus yang dia amati, termasuk genosida terhadap kelompok etnis Tutsi di Rwanda, muslim di Bosnia, Yazidi di Irak, dan Rohingya di Myanmar, kegagalan PBB untuk mencegah kekejaman massal baru terungkap setelah kengerian yang dialami oleh warga sipil berakhir.
Melihat pengalaman panjang Mokhiber dalam menyelidiki pelanggaran HAM di berbagai konflik internasional, ia menyiratkan bahwa pola kegagalan PBB dalam mencegah kekejaman massal dan genosida telah menjadi suatu ironi yang menyakitkan. Pengungkapan niat genosida secara terbuka oleh pejabat Israel, tanpa perlu penyelidikan mendalam, menyoroti sebuah paradoks di mana kebijakan internasional tampaknya masih belum mampu secara efektif mengatasi kekerasan dan pelanggaran HAM.
Pernyataan pejabat Israel yang memperingatkan penduduk Gaza dan ketidakmampuan PBB untuk merespon secara cepat terhadap situasi krisis semacam itu menunjukkan kebutuhan mendesak akan reformasi dan perbaikan sistem keamanan internasional. Kejadian serupa di Rwanda, Bosnia, Irak, dan Myanmar sebelumnya menunjukkan bahwa tindakan terlambat PBB memiliki konsekuensi yang merugikan dan bahwa perlindungan terhadap kehidupan manusia masih menjadi tantangan serius.
Perspektif Apartheid dan Tantangan Hak Asasi Manusia
Image Source: voaindonesia.com
Sementara itu, Human Right Watch dan Amnesty International, sejumlah organisasi hak asasi, menyatakan bahwa Israel telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan membelenggu warga Palestina dalam sistem apartheid berupa kebijakan ”pemisahan, perampasan dan pengucilan”. Tuduhan ini didasarkan pada penelitian dan analisis hukum tentang penyitaan Israel atas tanah dan properti Palestina, pembunuhan di luar hukum, pemindahan paksa orang dan penolakan kewarganegaraan.
Mengutip tempo.co, kebijakan ”pemisahan, perampasan dan pengucilan” yang dimaksud adalah sebagai berikut.
- Diskriminasi institusional yang dihadapi warga Palestina di Israel mencakup sejumlah undang-undang yang memungkinkan ratusan kota kecil Yahudi secara efektif mengecualikan warga Palestina.
- Anggaran yang hanya mengalokasikan sebagian kecil sumber daya ke sekolah-sekolah untuk warga Palestina dibandingkan dengan sekolah-sekolah bagi anak-anak Yahudi Israel.
- Di wilayah pendudukan, kerasnya penindasan, termasuk pemberlakuan kekuasaan militer yang kejam terhadap warga Palestina sembari memberi warga Yahudi Israel –yang hidup dalam cara terpisah di wilayah yang sama– hak penuh di bawah hukum sipil yang menghormati hak Israel, sama dengan penindasan sistematis.
- Pembatasan gerakan sweeping dalam bentuk penutupan jalur Gaza dan rezim perizinan, penyitaan lebih dari sepertiga lahan di Tepi Barat.
- Kondisi memprihatinkan di beberapa bagian Tepi Barat yang menyebabkan pemindahan paksa ribuan warga Palestina keluar dari rumah mereka, penolakan hak tinggal bagi ratusan ribu warga Palestina dan kerabat mereka, dan penangguhan hak-hak sipil dasar bagi jutaan warga Palestina.
Istilah "politik apartheid" memang telah digunakan oleh sejumlah pihak untuk menggambarkan situasi di Israel dan wilayah yang saat ini didudukinya, terutama terkait dengan perlakuan terhadap warga Palestina. Beberapa kelompok hak asasi manusia dan sejumlah elemen masyarakat internasional menilai bahwa kondisi ini menciptakan pola ketidaksetaraan yang mirip dengan praktek apartheid.
Pertanyaan etis muncul seiring dengan penderitaan yang terus berlanjut. Bagaimana mungkin kita, sebagai masyarakat global yang semakin terkoneksi, bisa menyaksikan penderitaan ini tanpa tanggapan yang memadai? Kegagalan untuk melindungi rakyat Palestina tidak hanya mencerminkan ketidakmampuan politik, tetapi juga menunjukkan kekurangan moral dalam menjaga kemanusiaan.
Dalam konteks ini, penting bagi kita semua untuk terus mengamati dan mengkritisi kebijakan politik dan diplomatik yang mungkin menjadi penghambat dalam menemukan solusi yang berkelanjutan. Kita sebagai individu dan masyarakat harus mempertanyakan apakah kita telah memberikan dukungan dan tekanan yang cukup pada para pemimpin untuk bertindak.
Dalam situasi yang penuh dengan kepahitan dan penderitaan, kita harus terus berupaya membangun pemahaman dan empati di antara masyarakat global. Konflik di Palestina harus menjadi panggilan untuk bersatu sebagai satu dunia, menempatkan kemanusiaan di atas segala kepentingan politik dan ideologi yang sempit.
Sudah saatnya dunia internasional mengkaji ulang dan memperkuat mekanisme yang ada untuk menanggapi secara lebih proaktif terhadap ancaman kemanusiaan.
0 Komentar