Baru-baru ini, dunia Twitter (atau yang sekarang dikenal dengan nama "X") sempat dihebohkan oleh salah seorang content creator yang terduga menggunakan jalur orang dalam untuk mendapati posisi di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ironisnya, content creator tersebut seringkali mengangkat tema mengenai "cara-cara agar mudah diterima oleh HRD". Pada Sabtu (9/9) lalu, Melalui akun TikTok pribadinya, ia akhirnya memberikan klarifikasi yang menjelaskan bahwa sebenarnya ia hanya mendapat referensi lapangan kerja dari orang yang bekerja di BUMN dan masih mengikuti proses seleksi.
Jika dilihat dari sudut pandang manapun, topik tersebut merupakan hal yang cukup kompleks dan pasti akan menimbulkan berbagai argumen pro dan kontra. Yang jelas, networking adalah aset berharga dalam dunia kerja dan tidak dapat dihindari bahwa hubungan pribadi juga dapat memainkan peran dalam proses rekrutmen tersebut. Baik referensi lapangan kerja atau bukan, masih patut dipertanyakan apakah hal tersebut cukup adil sehingga patut dinormalisasi?
Kenapa harus ada orang dalam?
Pada 19 Mei 2023, Consumer News and Business Channel (CNBC) Indonesia, melalui laporan website pencari kerja Zippia, mengungkap bahwa ternyata 85% dari karyawan yang diterima kerja menggunakan jalur orang dalam atau referensi. Survei ini mempertegas bahwa jalur ordal atau mendapatkan pekerjaan melalui hubungan/rekomendasi pribadi telah menjadi metode umum yang digunakan oleh individu untuk mencapai kesuksesan karier.
Di Indonesia sendiri, jalur orang dalam sudah seperti sebuah stereotype sekaligus sindiran yang kerapkali diucapkan ketika sedang melamar pekerjaan. Sebagian orang bahkan sudah menganggap jalur ini sebagai bagian dari law of nature dalam mencari pekerjaan. Sederhananya, "ya, kalau tidak punya koneksi orang dalam, jangan heran kalau kalah bersaing."
Jalur ini tentunya sudah seperti labirin gelap yang siap menghantui para fresh graduate, lebih lagi yang masih minim pengalaman kerja. Eh, tapi kalaupun punya skill dan banyak pengalaman kerja, sepertinya akan tetap sulit bersaing, deh. Tapi, kenapa ya jalur ordal ini masih tetap eksis sampai sekarang?
Sejatinya, dalam suatu perusahaan atau berbisnis yang namanya persaingan itu nyata adanya. Persaingan ini lah yang memicu berbagai perusahaan agar dapat memiliki kualitas sumber daya manusia sebaik mungkin dengan pengeluaran modal sekecil mungkin. Pada akhirnya, sebuah gagasan untuk memastikan penggunaan bakat manusia dengan cara yang efektif dan efisien ini hadir dalam bentuk jalur ordal.
Dengan koneksi yang tepat, tentunya jalur ini bagai menemukan mata air segar di tengah padang pasir. Pasalnya, para rekruter tidak perlu repot-repot menyiapkan biaya dan tenaga untuk pelatihan dan pengembangan guna meningkatkan kemampuan tenaga kerja baru mereka. Taruh kata, mereka mengerjakan job description dengan baik, HRD pun ikut senang.
Lalu bagaimana buat orang-orang yang diterima kerja karena bayar, bukan karena skill? Nyata, ini ibaratnya terkena offside dua kali.
Jangan sebut ini ketidakadilan maupun jalur orang dalam. Para rekruter lebih senang menyebut ini sebagai jalur referensi dan kekuatan dari networking yang bagus.
Lantas Bagaimana dengan UU No. 13 Tahun 2003?
Negara pastinya sudah mengatur regulasi dalam kehidupan bernegara, termasuk dalam hal perekrutan ini. Sebut saja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, apalah arti undang-undang apabila tak ada celah untuk kepentingan di dalamnya.
Dengan jelas, pada bab 3 pasal 5 yang berbunyi "Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan" dan pasal 6 yang berbunyi "Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha" yang mengartikan bahwa setiap individu harus mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama dalam memperoleh pekerjaan tanpa sedikitpun diskriminasi.
Pasal di atas menyebutkan bahwa itulah yang seharusnya menjadi dasar dalam melakukan perkerutan tenaga kerja. Namun, dalam praktiknya tentu saja hal ini masih jauh seperti yang diharapkan. Faktanya, pasal ini sudah pantas dimasukan ke dalam jajaran pasal-pasal "tahi kuda" lainnya.
Rekruter pun dengan mudahnya cukup mengadakan perekrutan secara tertutup dengan menghubungi orang-orang tertentu saja. Tak perlu diketahui publik, semua proses rekrutmen pasti berjalan lancar dan perusahaan mendapatkan sumber daya yang diinginkan. (Memang tidak semua, tapi kenyataannya memang ada yang seperti itu)
Para pemburu loker yang tidak tahu-menahu cukup duduk di teras rumah, meminum kopi sambil scrolling jobstreet.co.id. Oh iya, jangan lupa memikirkan besok lebih baik puasa atau pinjam uang teman lagi.
1 Komentar
Nepotisme tidak memenuhi rasa keadilan , sudah mengakar sejak orde baru! HARUSNYA JELAS DILARANG!!!
BalasHapus