Toksisitas dalam Media Sosial: Memahami Sisi Gelap Platform Online


Ada apa sih dengan sosial media? Kenapa bisa menjadi "toxic" seperti sekarang ini? Perlu diingatkan, pengaruh sosial media pada kehidupan sehari-hari telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir. Mereka memberikan platform bagi kita untuk terhubung dengan orang-orang di seluruh dunia, berbagi informasi dan mengungkapkan diri. Namun, di balik manfaatnya, sosial media juga memiliki sisi gelap yang menyebabkannya menjadi "toxic". Fenomena ini melibatkan banyak faktor kompleks yang berinteraksi dan pemahaman tentang kenapa sosial media menjadi toxic penting agar kita dapat menghadapi masalah ini dengan bijaksana.


Apa itu "toxic"?


Dalam konteks sosial media, istilah "toxic" digunakan untuk menggambarkan perilaku dan konten yang merugikan, agresif dan merusak lingkungan online. Istilah ini juga merujuk pada interaksi dan dinamika yang memicu perasaan negatif, konflik, penindasan dan gangguan psikologis pada pengguna sosial media.

Ryan M. Niemiec, seorang psikolog dan penulis, dalam artikelnya "Toxic Social Media: Psychological Effects and How to Protect Yourself" (2020), menjelaskan beberapa bentuk toksisitas dalam sosial media. Salah satunya adalah cyberbullying, di mana individu sengaja menyebarkan konten "toxic", melakukan pelecehan verbal atau mengintimidasi orang lain secara online. Hal ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional korban.

Selain itu, perilaku trolling juga menjadi contoh toksisitas sosial media. Trolling merujuk pada tindakan sengaja memicu konflik, mencari perhatian negatif atau mengganggu diskusi dengan komentar yang tidak bermakna atau provokatif. Tujuannya adalah untuk menyebabkan kekacauan dan ketidakharmonisan dalam komunitas online.

Selain perilaku individu, konten negatif dan merugikan juga dapat menciptakan lingkungan sosial media yang toksik. Misalnya, penyebaran berita palsu atau disinformasi yang disengaja, penghinaan, pelecehan atau hate speech terhadap kelompok atau individu tertentu. Konten semacam ini dapat memperburuk polarisasi, memicu konflik dan merusak hubungan antar pengguna sosial media.

Toksisitas dalam sosial media juga bisa termanifestasi melalui perbandingan sosial yang berlebihan. Pengguna sering melihat konten yang menggambarkan kehidupan yang sempurna dan penuh prestasi dari orang lain, yang pada akhirnya menyebabkan perasaan rendah diri, rasa tidak puas dan kecemasan mengenai citra diri mereka sendiri.


"Toxic" dalam bermedia sosial


Salah satu alasan utama mengapa sosial media menjadi "toxic" adalah keberagaman pendapat yang ada di dalamnya. Sosial media memungkinkan orang-orang dari berbagai latar belakang dan pandangan untuk berinteraksi. Namun, hal ini juga berarti bahwa kita sering kali terpapar pada pandangan yang bertentangan dengan keyakinan kita. Konflik dan perdebatan yang sengit dapat muncul dan hal ini diperparah oleh kemampuan sosial media untuk memperkuat polarisasi. Zeynep Tufekci, seorang sosiolog digital, telah menyoroti bagaimana sosial media dapat memperkuat retorika yang divisif dan memperburuk polarisasi dalam masyarakat (Tufekci, 2020).

Selain itu, anonimitas dan jarak interpersonal yang dihadirkan oleh sosial media juga berkontribusi pada toksisitasnya. Ketika berinteraksi di sosial media, kita seringkali merasa tidak terlihat atau tidak bertanggung jawab atas tindakan kita. Ini dapat mengurangi hambatan sosial dan etika yang mungkin kita miliki dalam interaksi tatap muka. Philip Zimbardo, seorang psikolog sosial, dalam eksperimen penjara Stanford pada tahun 1971, menunjukkan bahwa ketika seseorang merasa tidak terlihat atau merasa tidak bertanggung jawab, mereka cenderung lebih mungkin melakukan tindakan negatif (Zimbardo, 2007).

Selain itu, algoritma sosial media juga berperan dalam menciptakan lingkungan yang toxic. Algoritma ini dirancang untuk memberikan konten yang relevan dan menarik bagi pengguna. Namun, mereka cenderung memperkuat pandangan yang sudah ada dan membentuk gelembung informasi. Pengguna sosial media cenderung terpapar pada pandangan yang sejalan dengan mereka, mengonfirmasi kepercayaan yang ada, dan mengabaikan perspektif yang berbeda. Eli Pariser, dalam bukunya "The Filter Bubble" (2011), menjelaskan bagaimana algoritma sosial media menciptakan lingkungan informasi yang sempit dan memperkuat sikap ekstrem serta konfirmasi bias. Dalam gelembung informasi ini, pengguna jarang terpapar pada sudut pandang yang berbeda, sehingga tidak ada pertukaran pendapat atau pemahaman yang sehat antara individu dengan pandangan yang berbeda. Hal ini dapat memperkuat toksisitas dalam interaksi sosial media.

Selain itu, sosial media juga memiliki dampak emosional dan dapat menyebabkan ketergantungan. Mekanisme respons segera dalam bentuk like, komentar atau berbagi konten di sosial media dapat memicu pelepasan dopamine di otak, menghasilkan sensasi candu. Respon positif ini meningkatkan keinginan kita untuk terus terlibat dalam penggunaan sosial media. Tristan Harris, seorang desainer etika teknologi, telah menyoroti bagaimana desain sosial media secara sadar memanfaatkan mekanisme ini untuk menciptakan ketergantungan pada pengguna (Harris, 2016). Ketergantungan ini dapat mengarah pada perilaku yang lebih impulsif dan tidak sehat di sosial media, termasuk penggunaan yang berlebihan, kompulsif dan kadang-kadang bahkan kecanduan.

Kombinasi faktor-faktor ini, yaitu keberagaman pendapat yang memicu konflik, anonimitas yang mengurangi hambatan sosial, efek echo chamber dari algoritma sosial media dan dampak emosional serta ketergantungan dapat menciptakan lingkungan sosial media yang toksik. Fenomena ini memiliki implikasi negatif yang signifikan, seperti penyebaran berita palsu, disinformasi, perundungan daring (cyberbullying), dan gangguan psikologis.

Dalam mengatasi toksisitas sosial media, penting untuk meningkatkan kesadaran dan literasi digital. Individu perlu belajar bagaimana mengenali dan mengatasi konten yang toksik, membangun ketahanan emosional dan berpartisipasi dalam interaksi sosial media yang sehat dan bermakna. Pihak platform sosial media juga memiliki peran penting dalam memprioritaskan keamanan, keterbukaan dan kualitas konten serta transparansi dalam penggunaan algoritma.


Posting Komentar

0 Komentar