Tidak Bisakah Peradaban Mengizinkan Manusia untuk Bahagia?

Pernahkah kalian berpikir mengapa manusia membangun peradaban? Mengapa pada peradaban tertentu, nilai-nilai agamis dianggap dapat memenuhi kebutuhan batin setiap anggota masyarakatnya? Mengapa kita harus merasa bersalah atas hal-hal yang dianggap masyarakat buruk? Tidakkah peradaban benar-benar telah kelewatan mengatur aspek kehidupan manusia?

Dalam karya musim panas Freud berjudul “Peradaban dan Kekecewaan-Kekecewaan”, kita disuguhkan dengan analisisnya antara tuntutan naluri dengan batas-batas peradaban. Apakah pada kenyataannya, dengan adanya peradaban, manusia mendapat kebahagian atau justru sebaliknya?

Sebelum membahas lebih lanjut, kita mungkin perlu mempertanyakan dasar dari topik bahasan Freud pada karya ini. Setidaknya kita harus memahami mengapa kebahagian harus menjadi unsur penting dalam peradaban. Harus diakui, bukan merupakan hal mudah untuk membahas hal-hal yang abstrak seperti “kebahagian” secara ilmiah.

Freud sebenarnya mengawali pembicaraan dari pertanyaan mengenai tujuan hidup manusia. Namun, menurutnya hal tersebut sudah sangat sering diangkat dan dirasa belum pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Ia kemudian beralih menuju pertanyaan yang lebih sederhana mengenai tujuan pamrih hidup manusia, yaitu kebahagiaan.

Kebahagiaan biasanya didapat dalam dua cara, yaitu penghindaran dari rasa sakit dan kesedihan serta kesenangan yang kuat. Dalam artian sempitnya, Freud mendefinisikan kebahagiaan sebagai perjuangan untuk mendapatkan kesenangan yang kuat. Sayangnya, kesenangan itu hanyalah bersifat temporer dan harus terus-menerus dipenuhi.

 

Peradaban: Eros dan Thanatos

Dalam bahasa inggris, kita mengenal istilah “peradaban” dengan kata civilization. Merujuk pengertian civilization dalam Oxford Dictionary, ia diartikan sebagai a state of human society that is very developed and organized. Dua kata kunci yang menjadi pengertian ini adalah developed dan organized.

Freud sendiri mengartikan peradaban sebagai suatu proses istimewa yang dijalankan oleh manusia. Dalam analisis lebih lanjut, ia merupakan pelayan dari Eros, naluri kehidupan. Tujuannya adalah untuk menyatukan individu, keluarga, masyarakat menjadi satu kesatuan yang besar. Manusia-manusia ini akan diikat melalui afeksi dan kebutuhan satu sama lain.

Judul Buku Peradaban dan Kekecewaa-Kekecewaan

Judul Asli : Civilization and its discontents / Sigmund freud

Penulis : Sigmund Freud

Penerjemah : April Danarto

Penerbit/Tahun Terbit : CV. Immortal Publishing/2018

Jumlah Halaman : 118 hlm

ISBN : 978-602-5868-32-0

Sayangnya, Eros tidak pernah sendirian. Sebagaimana adanya kehidupan, disitu pula terdapat kematian. Naluri kematian inilah yang disebut dengan Thanatos. Naluri kematian ini selalu menginginkan kehancuran dan biasanya muncul dalam bentuk agresivitas.

Perseteruan antara Eros dan Thanatos terus berlanjut dan nyatanya selalu terjadi dalam kehidupan. Ia kadang juga dapat melebur, seperti dalam kehidupan erotis manusia. Bentuk peleburan ini berupa sadism dan masokisme. Kasus dimana eros atau thanatos melebur dan mengarah pada objek seksual atau dunia luarnya disebut sadism. Sementara, apabila mengarah pada subjeknya atau dirinya sendiri disebut masokisme.

 

Ketidakbahagiaan

Peradaban, seperti yang kita lihat saat ini, tidak benar-benar memberikan kita kebahagiaan. Justru malah memunculkan tuntutan-tuntutan kultural yang kemudian dibebankan kepada masyarakat. Tak jarang, individu yang tidak dapat memenuhi tuntutan ini justru menjadi neurosis karena frustasi.

Kemajuan teknologi yang telah dicapai justru juga menjadi sumber dari kekecewaan. Pengurangan angka kematian infantil malah membebankan akan pengendalian untuk menghasilkan keturunan. Pembentukan pernikahan akibat perkembangan peradaban juga menjadi penghalang bagi kebutuhan naluriah manusia. Freud kemudian memberikan pertanyaan,

apa bagusnya panjang umur bagi kita jika tetap saja sulit dan langka kegembiraan, jika begitu penuh penderitaan sehingga kita hanya bisa menerima kematian sebagai pelepas semua itu? – hlm 35.

Nampaknya, cinta juga tak luput dari pengekangan peradaban dengan batasan-batasan substansial. Ia menuntut adanya cinta universal dan menghalangi segala sesuatu yang dianggap sebagai penyimpangan seksual. Pada dasarnya, seksualitas dikorbankan. Hal-hal seperti homoseksual, incest, poligami, dan poliandri menjadi tabu. Sedangkan, eksogami Dan heteroseksual menjadi kewajiban dalam suatu peradaban. 

Freud  menyebut cinta dalam dua istilah, yaitu cinta genital yang menghasilkan pembentukan keluarga baru Dan cinta tujuan terhambat yang menghasilkan persahabatan. Bagaimanapun, peradaban lebih menghargai apa yang disebut cinta tujuan terhambat. Alasannya sederhana, karena semakin besar cinta yang diberikan dalam keluarga, semakin mengasingkan diri pula manusia dari peradaban. 

Selain itu, Freud juga menyatakan bahwa terdapat alat yang efektif untuk kepatuhan manusia terhadap peradaban, yaitu rasa bersalah. Rasa bersalah muncul dari ketakutan manusia Akan kehilangan cinta Dan perlindungan atas otoritas luar. Sebab otoritas luar itu sendiri tidak hanya berada ‘di luar’ individu, tetapi juga telah terinternalisasi dan menjadi Superego di dalam diri.. 

Buku ini pada dasarnya merupakan gabungan pemikiran-pemikiran Freud semenjak pergantian abad. Meskipun, patut dikritik bahwa penulisan dalam buku ini cukup belibet dan berputar-putar sehingga sulit untuk dipahami. Ada Baiknya, para pembaca membaca karya-karya Freud terdahulu agar dapat lebih memahami isi dari buku ini. Penulis juga mengakui bahwa isi dari tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan dan belum cukup menggambarkan mengenai pemikiran yang ingin disampaikan Freud dalam “Peradaban dan Kekecewaan-kekecewaan”.



 


Posting Komentar

0 Komentar