Sultan dan Sultanah



Di Sunni, suasana hening tidak seperti biasanya. Wajah duka terukir pada sebagian banyak masyarakat Sunni. Tidak ada orang hilir mudik melakukan kegiatan pada malam itu, malam kematian Penguasa Sunni, Nizam Malik Firdaus.

Sementara di dalam istana kesultanan, seorang anak yang baru saja berumur lima belas tahun telah duduk di sebuah singgasana emas yang lebih besar dari pada dirinya. Sebuah upacara baru saja selesai dilakukan, seorang Sultan baru saja diangkat.

            Malam itu tidak seperti saat pengangkatan Sultan pendahulunya. Beberapa wajah terlihat murung dan beberapa ada yang tidak segan menampakan kekecewaannya. Hassan memanglah merupakan putra satu-satunya yang hanya dimiliki oleh Nizam, pewaris sah Sunni. Berbagai intrik dan pendapat telah pecah beberapa jam sebelum pengangkatan Hassan Firdaus menjadi Sultan muda. Keputusan ini dianggap terlalu terburu-buru. Namun, bila dibiarkan, kabar akan bergerak cepat seperti angin, kerajaan-kerajaan musuh yang mengetahui ketidakberadaan Sultan dalam Kesultanan Sunni akan memudahkan mereka untuk menaklukkannya karena tidak memiliki seorang pemimpin. Beberapa ada yang berpendapat bahwa sepupunya, Abu Taher, berumur 23 tahun yang kini tiggal di Bukhara-lah yang pantas untuk menjadi ahli waris dari pada si kecil Hassan yang lebih muda dan kurang berpengalaman dalam pemerintahan. Namun, hal itu tidak dapat dilakukan. Karena adik Nizam, yaitu Kasham telah bersumpah untuk tidak melakukan tugas kenegaraan bersama seluruh keturunannya dan akan tinggal sebagai rakyat biasa di daerah utara.

            Desas-desus kematian Sultan yang sebelumnya telah menyebar ke seluruh kesultanan Sunni. Bahwa, anaknya yang baru berumur lima belas tahun itu telah mengkudeta ayahnya sendiri demi sebuah tahta. Bahwa, Sultan yang kini menjabat telah melakukan perjanjian dengan seorang Iblis. Dari dahulu, Hassan memang dinilai banyak orang sangat ambisius dengan kekuasaan dan sangat ingin menduduki tahta. Tapi kebenaran berita tersebut patutlah diragukan.

            Seorang Perdana Menteri maju ke depan, membungkuk lalu berkata, “Yang tinggi dan termuliakan, Sultan Hassan Firdaus bin Nizam Malik Firdaus bin Malik Ali Firdaus bin Abu Kashan. Mohon izin bicara,”—Hassan mengangkat tangannya, tanda bahwa ia mengizinkan—“seperti tradisi Sunni, bahwa seorang Sultan haruslah memiliki seorang Sultanah. Bahwa ia yang pertama yang akan menjadi paling setia dan menemani dalam tata kepengurusan pemerintahan bersama Sultan. Haruslah segera diputuskan.”

            “Kupikir tidak, Perdana Menteri Kasyim.” Seorang perempuan bercadar hitam dan bepakaian serba hitam berlapis emas maju ke depan dengan penuh kehormatan. Jalannya tegak dan sorot matanya menajam. Tidak lain ialah ibunya, Sang Sultanah, Khadijah.

            Perdana Menteri dengan sorban dan jubbah merah panjangnya itu perlahan mundur kembali ke kursinya. Membungkuk, penuh penghormatan.

            “Telah diputuskan,”—Sorot mata Khadijah mengelilingi seluruh ruangan yang megah itu, seakan menatap satu per satu orang yang ada di dalamnya.—“Sultan Hassan, tidak akan menikah sampai umurnya delapan belas tahun.” Khadijah mengumumkan.

            Seluruh ruangan tiba-tiba seakan membisik-bisikkan kata kepada setiap orang yang ada di dekatnya. Penuh curiga dan tidak terima akan keputusan Sang Sultanah. Beberapa pihak dengan terang-terangan menunjukan keheranan dan ketidaksetujuannya itu.

\           Perdana Menteri kembali angkat bicara, suasana menjadi hening kembali, “Mohon Maaf, Sultanah mulia, tetapi tradisi—“

            “Tradisi bisa menunggu Perdana Menteri. Ini bukanlah sebuah keputusan dari seorang Sultanah,” Khadijah menundukan pandangannya, kemudian dengan suara lirih melanjutkan, “tetapi seorang Ibu.” Entah kenapa, suaranya itu menampakan berbagai duka dan penderitaan karena harus kehilangan suami tercintanya dan harus membiarkan putra satu-satunya menjadi pewaris tahta dalam satu hari yang bersamaan.

            Di singgasana, Hassan menghentakan kepalanya. Tersanjung.

            “Dan inilah yang merupakan keputusan seorang Sultanah.”

            Semua pihak langsung menengadahkan kepalanya. Mendengarkan apa yang akan dikatakan seorang Khadijah.

            “Untuk sementara, dalam waktu yang belum ditentukan, semua urusan pemerintahan dan Negara akan diurus oleh Omar Ba’abullah, seorang arif nan bijaksana yang menguasai berbagai ilmu perbintangan, tafsir, iman, dan pengobatan, juga merupakan tangan kanan kerajaan Sunni yang tidak diragukan lagi kemampuannya,”—Khadijah berpaling menatap Hassan dengan penuh perhatian—“urusan itu akan disetujui Sultan sebelum dikerjakan, tentu saja,” ia menambahkan.

            Hassan yang merasa tersentuh sekaligus terpukau dengan keberanian dan pemikiran ibunya itu hampir saja salah mengartikan tatapannya. “Aku menyetujuinya.”

            Seluruh ruangan hening. Omar baru saja diangkat menjadi Wazir agungnya.

            Seorang kepala polisi berjanggut putih dan bersorban perak mendekat ke Kasyim dan mulai berbisik. “Termuliakanlah Sang Sultanah.” Pengucapan kalimat itu seakan-akan mengejek Sultanah Khadijah.

            “Sangat disayangkan sekali.”

            “Kejadian ini tidak akan terjadi apabila Abu Taher yang menjadi Sultan.”

            “Yang harus kita lakukan sekarang hanyalah harus menerima kenyataan.”

            “Kenyataan? Akankah Kematian Nizam akan mengikutsertakan Sunni bersamanya?”

            “Perhatikan kata-katamu Herat! Jika Sultanah mendengarnya, kau tidak akan lama lagi bisa bicara.”

            “Semoga Tuhan bersama kita.” Kepala kepolisian itu pergi menjauh. Meninggalkan ruangan. Diikuti oleh beberapa orang berikutnya, menandakan upacara telah selesai.

            Tiga tahun telah berlalu. Tiga tahun yang penuh penat bagi seorang anak lima belas tahun. Tiga tahun yang penuh duka bagi rakyat dan seluruh istana. Tiga tahun yang penuh kebahagian bagi kerajaan-kerajaan lainnya, karena Sultan Nizam yang ditakutinya telah tiada.

            Tiga tahun telah hilang, namun perjodohan Sultan Hassan belum juga selesai. Dia belum memilih, belum juga memutuskan, wanita mana yang pantas menjadi pendampingnya. Haruskah wanita yang lebih tua darinya? Haruskah yang menguasai ilmu kenegaraan agar dapat membantunya kelak? Apakah tidak ada wanita di dunia ini yang memenuhi keinginannya. Baik dari kalangan bangsawan ataupun rakyat biasa, belum ada wanita yang bisa menyentuh hatinya. Khadijah menjadi khawatir, jika tradisi ini tidak segera dilaksanakan, maka akan ada kemungkinan bagi rakyat untuk melanggar tradisi yang lain, seperti yang telah dicontohkannya selama ini,.

            Disamping itu, benih-benih pemberontakan terhadap kesultanan Hassan mulai tercium hingga ke Istana. Kepala kepolisian Herat segera mengambil tindakan atas perintah Omar dan Hassan, dengan ogah-ogahan ia memerintahkan intel-intelnya untuk mencari tahu asal-usul kebenaran berita ini. Bukan sesuatu yang mengagetkan bagi Istana, sejak pengangkatan Hassan sebagai Sultan, memang sudah diwaspadai bahwa akan muncul sebuah gerakan yang menunjukan pemberontakan.

            Omar yang merasakan ketegangan baik di dalam maupun di luar istana mengusulkan agar mengadakan sebuah jamuan atau pesta di alun-alun Istana, tujuannya jelas, agar dapat menenangkan hati rakyat. Tapi disaat bersamaan juga dapat membuat keselamatan Sultan terancam. Di tengah kerumunan, pasti musuh dapat dengan mudah menyamar dan mendekati Sultan. Tapi tentu, hal itu tidak berlaku bagi Omar Ba’abullah kelahiran Baghdad, semua telah direncanakan dengan sempurna. Acara hiburan semacam itu dapat juga digunakan untuk memancing para pemberontak keluar dari sarangnya. Dengan ragu-ragu, Sultan-pun menyetujui.

            Jamuan pesta akan diadakan minggu depan, tepat saat pergantian bulan purnama. Beberapa penyair dan penghibur lainnya dari berbagai penjuru negeri diundang untuk dipilih manakah yang terbaik di antara mereka. Rakyat tampak menyambut baik akan hal ini, beberapa dari mereka sering membicarakannya sepanjang hari.

            Ternyata benar saja, saat hari jamuan pesta berlangsung, semua dekorasi dan suasana diadakan sangat meriah. Beberapa gerobak pedagang berjajar rapih dipinggir-pinggir jalan, lampu-lampu jingga menyeberang dari tiang yang satu ke tiang lainnya, dekorasi mewah dimana-mana, termasuk para penduduk sengaja menghiasi rumah mereka sendiri untuk jamuan ini.

            Tibalah saatnya acara yang telah ditunggu-tunggu. Yang pertama, seorang pelayan memperkenalkan sebuah grup anggota sirkus dari barat yang menampilkan permainan sulap serta keahlian mereka dalam bermain api. Kemudian Sang Sultan mengisyaratkan mereka untuk meninggalkan panggung pertunjukan setelah menyelesaikan aksi terakhir mereka. Seorang pendongeng, pemain gendang, hingga pertunjukan bela diri dipersambahkan kepada Sang Sultan. Hingga akhirnya si Pelayan mengenalkan seorang Penyair cantik yang melantukan syairnya dengan anggun dan penuh hikmat.

            “Berikutnya, seorang penyair kelahiran Nisyapur, Jehan Hashish, yang sudah mengelilingi dunia bersama Ayahnya, kini akan membawakan sebuah syair di hadapan Sultan Sunni dan seluruh rakyatnya.”

            Seorang perempuan bercadar putih maju ke tengah panggung, kuku-kukunya dihiasi butiran-butiran mengkilat yang entah apa itu. Dia melonggarkan sedikit cadarnya dan mulai bersyair.

            Dari jendela, purnama bulan tak lagi cemerlang,

            Dari jendela, kulihat bintang-bintang hilang,

            Dari jendela pula, kulihat bunda pergi tak lagi pulang.

 

            Ingat rasa itu? Kini tersapu layaknya debu,

            Ternoda dan tumbuhkan benci pada dirimu,

            Tak sanggup untuk mengingat kepahitan pada malam yang kelam itu,

            Penuh sesak dan tanda tanya mengenai kepergianmu.

 

            Dunia kini terasa asing, rindu

            Putrimu sendiri menunggumu pulang di sini,

            Tetapi mereka yang menjemputku bukanlah dirimu,

            Sebelum aku sadar, kau pergi dan aku sendiri

            Semua bertepuk tangan saat ia menghentikan gerakan dan menguatkan kembali cadarnya. Hassan terpukau, matanya memancarkan berbagai ribu kekaguman. Si penyair masih berdiri di tengah panggung. Menunggu isyarat dari sang Sultan untuk mengundurkan diri, tapi tak ada sedikitpun gerakan dari-nya.

            Hassan masih memandangi penyair itu, tetapi, itu hanya membuat Jehan semakin tidak nyaman. Omar memberikan isyarat kepada Hassan agar tersadar dari kekaguman yang tidak biasa itu.

            “Siapakah pemilik syair yang luar biasa indah ini?” tanya Hassan, masih dengan kekaguman yang sama.

            “Tuhan-lah yang membawakan syair ini kepadaku, tidaklah patut jika mengagumi apa yang diciptakannya dari pada penciptanya sendiri. Hamba mohon undur diri Sultan agung.” Jehan menambahkan, ia berbalik dan hendak meninggalkan panggung.

            “Yang termashur penyair yang sangat rendah hati,” Omar memanggil, nadanya lebih seperti mengejek dari pada menyanjung, “Sultan Hassan telah bertanya akan siapakah dirimu? Apakah tidak lebih baik jika kau memperkenalkan dirimu?”

            “Tidak lagi ada yang perlu diperkenalkan dariku lebih dari yang pegawaimu katakan tadi, bahkan syair-ku telah memperkenalkan diriku sendiri.”

            “Sultan Hassan ingin tahu siapakah dirimu sebenarnya. Bukan sekedar makna dari sebuah syair atau kata-kata dari seorang pelayan.”

            “Aku hanya Jehan dari Nisyapur.”

            “Hanya Jehan dari Nisyapur,” ulang Omar dengan nada mencela.

            “Akankah kau tahu bahwa sekarang aku sedang mencari seorang wanita untuk duduk bersamaku di kursi Istana?” Hassan angkat bicara, secara sadar shatinya telah jatuh oleh beberapa baris syair sang gadis. Semua orang di alun-alun nampak terkejut, termasuk Jehan sendiri.

            “Maafkan hamba, yang mulia Sultan. Tetapi hamba tidak cocok untuk kehidupan istana.” Jehan kemudian segera pergi meninggalkan panggung. Namun, dua orang prajurit langsung saja mencegah jalannya.

            “Siapakah yang berani menolak tawaran besar seperti itu, yang langsung dikatakan oleh Sultan itu sendiri?” Omar bertanya penuh keheranan.

            “Maaf, bukannya hamba menolak—“

            “Yang mulia Sultan, kau telah melakukan pilihan yang tepat,” potong seorang suara laki-laki berat dari balik kerumunan. Pria itu maju keluar dan menampakan diri. Badannya bulat dan memakai jubbah mengkilap berlapis. Brewoknya hitam, hampir menutupi seluruh mulutnya. “Jehan Hashish dari Nisyapur adalah pilihan yang tepat untuk yang mulia Sultan, tentu saja.”

            “Siapakah dirimu?” tanya Hassan penasaran.

            “Nama hamba Meched, Paman Jehan sendiri yang mulia Sultan. Kebetulan kami sedang dalam perjalanan menuju Madinah untuk bertemu dengan Ayahnya dan berhenti sebentar untuk singgah di negeri-mu yang indah ini. Namun, Tuhan telah memberikan petunjuk pada kami hingga kami bisa berada di jamuan pesta yang meriah ini, yang mulia Sultan.”

            Hassan sama sekali tidak tersanjung dengan berbagai pujian yang Meched katakan.

            “Lalu apa yang membuatnya menjadi pilihan tepat bagi Sultan sendiri?” tanya Omar dengan ganas.

            “Dengan segala kerendahan hati, yang termashur Omar Ba’abullah. Namamu bahkan harum di desa Nisyapur kami,”—Omar mengangguk mengiyakan, mengisyaratkan agar ia langsung segera mengatakan intinya saja—“di umurnya yang kini baru menginjak tujuh belas tahun, ia telah selesai membaca segala ilmu pengetahuan tentang agama, kedokteran, sejarah dan bintang-bintang serta bisa memahaminya dengan baik. Hampir mirip seperti dirimu Omar yang kuhormati. Ilmu semacam itu akan sangat berguna bagi Sunni itu sendiri pastinya.”

            Semua orang terlihat takjub. Tak terlebih Omar, dia merasa dirinya telah dikalahkan.

            “Bagaimana bisa seorang gadis muda secerdas itu?” tanya Omar agak ragu.

            “Cobalah, ujilah dia.”

            Jehan hanya bisa menuruti kemauan Pamannya.

            Omar mulai menanyainya. Mulai dari buku Haiat al-Falak karya Abu Ma’syar, buku-buku kedokteran Ibnu Sina, hingga kitab Al-hawi karya Ar-Razi. Semua itu dijawabnya dengan tepat dan jelas tanpa celah. Menimbulkan kekaguman di hati Hassan dan Omar serta seluruh orang di alun-alun Istana itu.

            “Baru kali ini aku melihat gadis muda sehebat itu,” kata Khadijah.

            Dalam hati Sang Sultan, dia telah menemukan wanita pujaannya yang selalu ia impikan. Tapi, apa yang membuatnya telah menolak tawarannya yang mungkin tidak akan bisa ditolak oleh seluruh wanita di muka bumi ini. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membiarkannya pergi dan melanjutkan jamuan pesta sesuai yang telah direncanakan. Jamuan pesta telah berakhir dengan aman dan lancar. Nampaknya para pemberontak yang sudah ditunggu-tunggu tidak menampakan batang hidungnya malam itu.

            Satu-dua malam telah berlalu semenjak pertemuan Hassan dengan Jehan. Tak disangka, saat itu menimbulkan rasa rindu kepada si Penyair untuk bertemu dengannya sekali lagi. Hassan akhirnya memutuskan untuk pergi menemui Jehan di sebuah perkemahan ziarah yang berada di pinggir kota. Dengan menunggangi seekor kuda dan dikelilingi beberapa puluh pengawal, Hassan berangkat pada sore hari itu. Pada saat bersamaan dengan perginya Hassan dari istana, muncul desas-desus baru mengenai pemberontakan di dalam Istana.

            “Kasyim!” panggil Khadijah kepada Perdana Menteri yang saat itu sedang mengamati Sunni dari atas menara Istana. Saat itu Khadijah sedang ditemani oleh orang kepercayaannya, Omar.

            “Yang Mulia Sultanah! Ada keperluan apakah hingga kau mendatangiku sore ini?”

            “Aku ingin bertanya padamu,” wajahnya semakin serius, “apakah benar kau adalah orang yang bisa kupercaya?”

            Kasyim sedikit terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba seperti itu, “Tentu saja, bukankah aku telah disumpah bahwa aku akan selalu setia kepada kesultanan Sunni saat aku akan diserahkan jabatan ini? Yang mulia Nizam sendiri-lah yang menyumpahku, tidak akan berani aku, demi Tuhan.”

            “Bagus,”—Khadijah menarik nafas—“Seorang mata-mata Istana baru saja memberitahuku, bahwa sebenarnya selama ini, otak di balik benih-benih pemberontakan berada di dalam atap istana kesultanan Sunni itu sendiri, Kasyim. Aku ingin tahu, apakah ada anak buah atau pegawaimu atau bahkan seorang di dalam Istana ini yang membuatmu curiga? Jawablah dengan jujur, karena sesungguhnya, aku telah memercayaimu!”

            Kasyim sangat terkejut dengan berita ini, “Demi Tuhan, aku tidak pernah memerhatikan sedikitpun gerak-gerik anak buahku dengan sangat. Pekerjaanku sebagai Perdana Menteri tiga tahun ini sangatlah padat. Mohon maafkan aku yang mulia.”

            “Sangat disayangkan sekali,” kata Khadijah lirih.

            “Tapi aku tahu seseorang yang mulia, yang sangat tidak menyukai akan keputusan pengangkatan tuan muda Hassan menjadi Sultan. Yang mungkin patut di curigai.”

            “Siapakah dia Perdana Menteri?”

            “Herat Saleem, yang mulia.”

            “Herat Saleem? Kepala polisi itu?”—Khadijah agak terguncang—“bagaimana bisa? Tiga puluh tahun dia menghabiskan hidupnya untuk melindungi Kesultanan, kesetiannya tidak diragukan lagi. Bahkan sekarang dia … oh, astaga.”

            “Ada apa yang mulia?” tanya Omar penuh penasaran, “Dimana sekarang Herat berada?”

            “Herat kini sedang mengantar Hassan menuju perkemahan Ziarah di Timur kota.”

            “Kalau begitu, ini terlalu berbahaya, kita belum mengetahui kebenaran tentang dirinya. aku akan segera menyusulnya! Mohon izin yang mulia.’

            “Pergilah Omar! Lindungilah putraku!” nada khadijah penuh kepanikan.

            Sementara itu, Hassan beserta pasukannya telah sampai di perkemahan bersamaan dengan naiknya bulan di atas bukit. Salah seorang prajurit mengumumkan kedatanagan Sultan dan mengisyaratkan mereka semua untuk memberikan penghormatan tertinggi, Hassan menerima semua penghormatan itu. Ia bertemu kembali dengan Meched, yang mengantarkannya menuju tenda perkemahan Jehan di tengah tenda-tenda yang lain. Tenda itu putih besar, dan cukup luas. Hassan mengisyaratkan agar prajuritnya tetap berjaga di luar tenda sementara Hassan dan Meched masuk ke dalam.

            Begitu terkejutnya Jehan ketika melihat sesosok orang yang diantarkan Pamannya kepadanya itu.

            “Biarkan dia berbicara kepadamu sebentar saja,” kata Meched dengan seringai lebar lalu meninggalkan mereka berdua tanpa takut terjadi apa-apa pada keponakannya. Jehan hanya bisa menuruti kemauan Pamannya sekali lagi, dia tidak bisa pergi dari percakapan itu.

            “Namamu Jehan? Benarkan?” kata Hassan sambil mendekati Jehan yang tengah duduk di sebuah kursi kayu.

            Jehan mengangguk.

            “Aku telah lama mencari wanita sepertimu. Dan saat aku menemukannya, kenapa engkau memutuskan untuk pergi? Padahal tawaran yang kuberikan tidak mungkin bisa ditolak oleh seluruh wanita di dunia ini dan akan cukup untuk memuaskan semua kemauanmu.”

            “Apakah kau sudah bertemu dengan seluruh wanita di dunia ini, yang mulia?”

            Hassan merasa tersinggung.

            “Bahkan tidak. Aku bukanlah perempuan yang mengatas-namakan sebuah harta. Lagipula, kabar mengenai seorang anak yang meracuni Ayahnya telah sampai ke Nisyapur. Bagaimana bisa aku tinggal bersamanya?” kata-kata Jehan kali itu penuh serangan.

            “Dan kau mmercayainya? Bagaimana bisa aku berbuat hal sekotor itu? Memang banyak orang yang mengatakan itu di belakangku, tapi baru kau-lah, baru kau yang mengatakannya langsung dihadapanku! Seberapa beraninya kau?”

            Jehan menundukan pandangannya, “Maaf, yang mulia, bukan maksud—“

            “Cukuplah, apakah pengetahuanmu hanya cukup dengan membaca atau mendengar? Tidakkah mencari tahu kebenaran yang pasti?”

            Kali ini Jehan yang merasa tersinggung, ia berdiri kemudian berkata, “Bukankah pengetahuan ini yang membuatmu takjub pada malam jamuan itu? Bagaimana bisa sekarang kau mengatakan hal yang sebaliknya? Dan kau juga yang menyatakan di depan semua warga bahwa kau ingin menjadikan gadis berusia tujuh belas tahun ini menjadi istrimu? Sekarang kau malah mencelanya.”

            “Mencela? Bukankah kau yang melakukannya? Walaupun harus kuakui, bahwa keberanianmu harus kuhargai. Itu akan membuatmu sangat pantas sebagai seorang Sultanah—“

            Tiba-tiba perkatannya terpotong dengan suara bising teriakan dan adu pedang dari luar tenda.

            “Suara apa itu?” tanya Jehan.

            “Para pemberontak! Tetaplah diam di sini!”

            Pada saat itu juga, seorang yang memakai pakaian serba hitam menerobos masuk ke dalam tenda, wajahnya juga di tutupi dengan kain hitam hingga hanya terlihat dua pasang bla matanya.

            “Ketemu juga kau,” kata orang itu penuh kemenangan. Pedangnya mengacu lurus pada Hassan.

            “Apa maumu?” Hasan memberanikan diri.

            “Jelas! Kematianmu!”

            “Kalau kau membunuhku di sini, maka tak akan ada lagi tempat untukmu kabur, tak ada tempat untukmu lagi bersenang-senang. Karena Kesultanan Sunni akan terus mengejarmu! Menyerahlah!”

            Orang itu malah tertawa kencang, hampir mengalahkan suara adu pedang di luar tenda kala itu. “Tiga tahun aku hidup bermewah-mewahan di Istana, tidak ada yang mengejarku! Bahkan setelah aku menaruh racun dalam minuman yang mulia Nizam, aku masih bisa bebas melakukan apapun yang kusuka. Bahkan, aku menguasai pemerintahanmu! Ya? Kenapa? Kau terkejut?”—Hassan mulai geram mengetahui kenyataan itu, bahwa dialah sebenarnya yang telah menyebabkan kematian Ayahnya—“bahwa aku jugalah yang telah menyebarkan desas-desus bahwa kau-lah yang telah mengkudeta ayahmu sendiri.”

“Berani-beraninya kau!”

“Tapi, kini tidaklah penting, karena aku akan mengahakhiri hidupmu sekarang juga beserta calon kekasihmu itu!“

            “Siapakkah kau? Kau berani muncul dihadapanku setelah menjadi orang paling hina dengan membunuh Sultan besar seperti Ayahku dengan penuh tipu daya!”

            “Siapa aku tidak penting. Pikirkanlah dirimu yang sebentar lagi akan kuhapuskan dalam sejarah kesultanan Sunni.”

            “Tadi kau bilang tinggal di Isatana? Terkutuklah kau wahai benalu pengecut!”

            “Benalu?” Orang itu hanya tertawa, tawanya kasar dan besar. Dia arahkan kembali pedangnya kepada Hassan, dan dengan cepat ia hunuskan tepat di lehar Sultan tersebut.

            Wuushhh…

            Tiba-tiba sebuah panah langsung menembus dadanya. Badannya rubuh, menyisakan seorang yang sedang memegang busur di belakangnya. Jubbah peraknya berkilau dari balik cahaya malam di pintu tenda itu. Orang itu adalah Herat!

            “Cukuplah aku mendengar kesaksianmu! Kau tidak apa-apa, yang mulia?”

            “Terima kasih Herat.”

            Ternyata pasukan Pemberontak telah ditaklukan dengan mudah oleh Herat Saleem, si padang pasir merah. Terbongkar semua kedok para Pemberontak. Dibukanya kain penutup orang itu, ternyata Omar-lah otak dari pemberontakan selama ini, hal itu menjelaskan kenapa pemberontakan hanya menjadi desas-desus saja, Omar telah menutupinya dengan baik, dan pertemuannya malam itu dengan Jehan membuatnya takut akan jabatannya kembali diambil dan membuatnya melakukan keputusan yang terburu-buru.

            Jehan mempertimbangkan kembali tawaran Sang Sultan setelah rumor mengenai Hassan diklarifikasikan kembali dan Jehan telah melihat keberanian dalam diri Hassan saat berhadapan dengan Pemberontak itu. Namun, Jehan tidak memberikan jawabannya begitu saja. Esoknya Jehan bersama rombongan peziarah lainnya pergi meninggalkan Sunni untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju Madinah.

Keputusan terjadi lima bulan kemudian. Dimana Jehan, yang seorang rakyat biasa dari Nisyapur menikah dengan seorang Sultan. Hal ini tidak menjadi perdebatan baik di dalam maupun di luar Istana. Tetapi dengan satu syarat. Pernikahan mereka terjadi dengan hanya restu Ayahnya.

Sepuluh tahun berlalu. Sunni kembali mencapai puncak kejayaannya bersama panglima besar, yang tidak takuti di seluruh penjuru dunia kala itu. Hassan tumbuh menjadi seorang sultan yang di terima rakyatnya dan Jehan tumbuh menjadi wanita luar biasa yang selalu setia membantu Hassan menjalankan tugas kenegaraannya.

 

Posting Komentar

0 Komentar