Skizofrenia
mungkin dapat dikatakan sebagai gangguan psikologis berat yang paling
membingungkan (Nevid, dkk., 2018). Ia dikategorikan sebagai gangguan
psikotik—tapi bukan satu-satunya—di mana penderita mengalami kesulitan dalam
membedakan antara imajinasi dan realitas.[1] Sebagian dari pembaca
mungkin masih kurang akrab mengenai penyakit seperti apakah skizofrenia ini. Masyarakat
umumnya lebih mengenal penderitanya dengan sebutan Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ). Padahal, it’s not the same! Sama
sekali bukan! Skizofrenia tak berarti gila.
Hal
ini telah dibuktikan dalam film biografi yang disutradarai oleh Ron Horward berjudul
A Beautiful Mind pada 2001 lalu. Film
ini menceritakan tentang perjuangan Jhon Forbes Nash Jr., seorang matematikawan
asal Amerika, dalam menghadapi penyakit skizofrenia paranoid yang diidapnya
sejak memasuki Universitas Princeston. Film yang pernah menyambat dua piala
Oscar ini tentu tidak bisa dianggap film sembarang dalam mengangkat kasus gangguan
mental.
Judul
film itu sendiri, A Beautiful Mind, sebenarnya
sudah menggambarkan pesan yang ingin disampaikan. Bahwa pikiran manusia
sebenarnya merupakan hal yang indah. Keindahan tersebut lahir dari kerumitan
bagaimana ia bekerja. Ia diibaratkan mesin rumit dengan berbagai macam produksi
yang terjadi di dalamnya.
Dari
film ini, kita dapat mempelajari bahwa kehidupan dari para penderita
skizofrenia tidak bisa terhenti hanya karena stigma masyarakat dan penyakitnya.
Nash telah membuktikannya. Meski ia telah didiagnosis mengidap skizofrenia,
namun semangatnya sebagai seorang matematikawan berhasil mengantarkannya menuju
penghargaan Nobel Memorial Prize Economic Sciences—Walaupun, Nash tidak pernah
memberikan pidato pada saat penerimaan penghargaan Nobel miliknya.
Perlu
digarisbawahi, penulis tidak ingin memberikan harapan kosong belaka terhadap
para penderita skizofrenia dalam mengikuti jejak Nash. Bagaimanapun,
skizofrenia tetap memerlukan penanganan ahli secara berkala agar gejala yang
ditimbulkannya tidak semakin parah. John Nash sendiri perlu waktu
bertahun-tahun sebelum akhirnya dapat kembali mengajar pada 1980an. Meskipun
begitu, pengobatan Nash setelahnya tetap berlangsung sepanjang hidupnya. Hal
ini dikarenakan, hingga saat ini masih belum ada obat yang dapat menyembuhkan
gangguan ini, namun untuk meringankan gejala yang timbul sangat memungkinkan.
Membahas
segala kegigihan yang dilakukan oleh Nash dalam menghadapi penyakitnya, rasanya
tak adil bila tidak menyebut salah satu sosok yang selalu ada menemani Nash
apapun keadaannya. Sosok tersebut tak lain adalah Allice Nash, istri dari Jhon
Nash itu sendiri. Ia merupakan wanita kuat nan tegar. Ditengah kesibukan
mengurus anak dan suaminya yang didiagnosis penyakit mental, ia tetap bertahan
serta terus mendukung demi kesehatan suaminya.
Hal
inilah yang seharusnya menjadi cerminan kita semua dalam menyikapi para
penderita skizofrenia. Memberi dukungan kepada mereka merupakan jalan terbaik
yang dapat dilakukan. Bersikap apatis, menjauhkan diri dari si penderita,
hingga menghina mereka tak dapat dibenarkan sama sekali apapun alasannya.
Kenapa? Because it will make them feel
worst and worst. Bayangkan saja bagaimana jika kalian berada di posisi
mereka! Kita semua manusia dan masing-masing dari kita tentu memiliki apa yang
dinamakan “hati nurani”.
Pada
seperempat perputaran film, mungkin para pembaca yang sudah pernah menonton
film tersebut mengingat sebuah perkataan Nash yang menarik, Perkataan tersebut berbunyi:
“Adam Smith said, ‘best result comes from everyone in the group doing what’s best for himself,’ right? That’s what he said. Not complete, not complete, okay? Because the best result would come from everyone in the group doing what’s best for himself and the group.”
Sepintas
kita dihantarkan kepada pemikiran seorang mahasiswa yang pada saat itu sedang
asyik berkhayal di bar. Namun, siapa sangka bahwa perkataan tersebut nantinya
yang akan menjadi dasar dari salah satu pemikiran Nash, yaitu Game Theory.
Kata
Game pada Game Theory ini sebenarnya tidak merujuk kepada permainan sebagaimana
yang kita ketahui. Akan tetapi, kata tersebut digunakan sebagai istilah untuk
menggambarkan setiap interaksi yang
terjadi
antara banyak orang di mana hasil
setiap orang dipengaruhi oleh keputusan yang dibuat oleh orang lain.
Secara umum, Game Theory berusaha
untuk melihat interaksi manusia melalui lensa matematika.
Sejauh
ini, kita telah melihat bagaimana seorang yang didiagnosis Skizofrenia telah
berhasil merumuskan pemikiran yang diakui, bahkan dianugrahi dengan penghargaan
Nobel. Seharusnya, saat ini kita juga telah menyadari bahwa seseorang dengan
gangguan mental masih dapat memiliki kesempatan untuk hidup normal sebagaimana
individu lain, dengan melalui penanganan yang tepat tentunya.
Film
yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama karangan Sylvia Nasar ini
bahkan mendapat review positif saat
pertama kali penanyangannya pada Rabu (12/12/2001) lalu. Salah satu ulasan
menarik yang diberikan pada film ini mengatakan bahwa A Beautiful Mind merupakan perpaduan antara kisah cinta yang
mengaharukan sekaligus pengungkapan pandangan yang seharusnya terhadap gangguan
mental. Ulasan positif yang sama diungkapkan oleh Jhon Shuterland dalam
tulisannya di majalah The Guardian, yang berbunyi:
“Howard pulls off an extraordinary trick in A Beautiful Mind by seducing the audience into Nash's paranoid world. We may not leave the cinema with a level competence in game theory, but we do get a glimpse into what it feels like to be mad - and not know it.”[2]
Tak
hanya pujian, film A Beautiful Mind
juga masih menuai kritik di beberapa bagian. Misalnya saja, halusinasi visual
yang dialami Nash pada film tersebut sebenarnya tidak pernah terjadi dalam
kehidupan nyatanya. Hal ini diakui oleh Nasar sendiri dalam sebuah pernyataannya,
“The filmmakers invented a
narrative that, while far from a literal telling, is true to the spirit of
Nash's story."
A Beautiful Mind benar-benar menyadarkan kita, bukan hanya
mengenai keindahan pikiran, tapi juga keindahan hidup kita saat ini. Film ini
mungkin dapat dijadikan sebagai perenungan untuk memberikan sikap yang lebih
baik terhadap para penderita gangguan mental. Perjuangan, kisah romansa,
pengetahuan, dan nilai-nilai keluarga menghiasi film yang cocok untuk ditonton
bersama keluarga tersebut.
[1] Nevid, Jeffrey
S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly. (2018). Abnormal Psychology in A
Changing World. 330 Hudson Street, New York: Pearson.
[2] John Sutherland,
'Beautiful mind, lousy character' Archived October
28, 2016, at the Wayback Machine, The
Guardian, 17 March 2002
0 Komentar