Tengah malam
lewat tiga belas menit. Aku masih terjaga sebab beberapa pikiran masih saja
menusuk-nusuk kepalaku. Seakan mereka tidak ikhlas jika aku mendapat dua per
tiga malam untuk istirahat. Padahal, kupikir setelah melewati satu hari yang
panjang, aku bisa beristirahat dengan tenang. Walaupun, hanya untuk satu malam.
Nyatanya tidak.
Tapi, mari
kita lihat sisi baiknya. Aku tidak sendirian. Aku ditemani secangkir teh manis
yang kubuat sesaat sebelum aku masuk ke kamar. Tadinya itu teh manis hangat,
harusnya begitu. Dinginnya malam telah mengambil kehangatan itu dengan
perlahan. Membiarkan bibirku kedinginan ketika menyentuh ujung cangkir itu.
Waktu-waktu
setelahnya kuhabiskan untuk menatap langit-langit. Sebelum kusadar hal itu sangat
tidak berguna. Kemudian, aku mencoba mengambil buku catatanku. Mencoba
menuliskan semua yang terlintas saat itu juga.
Aku ingat,
dulu ada tokoh yang namanya Grian. Ia berasal dari semesta yang sama dalam
imajinasiku. Grian ini sangat pemberani, dia juga sangat terbuka. Niatnya, dia
yang nantinya akan jadi tokoh utama dalam semesta itu. Jadi, aku mencoba
menuliskan "Grian" sebagai kata pertama pada buku catatanku.
Tapi, masalahnya tokoh utama tidak pernah bisa hidup sendirian. Minimal ia
harus punya satu tokoh yang menjadi pendukungnya. Seseorang yang akan membawanya kembali ke jalan yang benar ketika ia tersesat, yang akan mengingatkannya ketika melakukan kesalahan, serta yang akan selalu ada disisinya apapun kondisinya. Maka dari itu, Jehan ini muncul.
Jehan ini
harusnya menjadi Srikandi dalam semesta itu. Tapi, kurasa itu terlalu hebat
untuk ukuran seorang tokoh pendukung. Cukup menjadi Drupadi dalam hidup Grian
saja itu sudah cukup, biarkan Grian menjadi seluruh Pandawa-nya.
Maka, setelah
kata Grian harus ada kata lain yang mampu menghubungkannya dengan Jehan. Tapi,
tunggu dulu. Mereka berdua terlalu sempurna, tidak realistis. Kehidupan yang
asli tidak hanya terdiri dari kata "aku" dan "kamu", pasti
ada juga kata "dia" juga "mereka". Semesta yang besar itu
tidak mungkin hanya bisa ditinggali dua orang saja, bukan?
Aku
menerka-nerka, siapa lagi yang pantas untuk hidup di semesta yang luar biasa
ini. Kutegak teh yang masih setia menemaniku itu agar aku bisa menjadi lebih
tenang untuk berpikir. Mungkin, seorang laki-laki dewasa saja cukup. Tapi,
tidak hanya dewasa, dia juga harus pintar. Itu akan membuat semesta ini jauh
lebih berwarna.
Baiklah,
sudah kuputuskan! Laki-laki itu akan kuberi nama Yona, artinya burung merpati.
Aku sangat berharap kepadanya, selain pintar dan dewasa, ia yang juga akan
menghubungkan Grian dan Jehan sejauh apapun jarak memisahkan.
Aku juga
membuat tokoh-tokoh sampingan lain yang tinggal di sana sebagai latar belakang
kehidupan mereka. Akhirnya, Semesta yang baru kubangun ini perlahan akan
menjadi semesta yang besar dan memiliki banyak cerita di dalamnya.
Namun, sepertinya aku salah
perhitungan. Yona yang seharusnya menjadi penghubung antara Grian dan Jehan,
sekarang malah merebut Jehan. Yona bukan tokoh yang baik lagi, sekarang dia menjadi
antagonis utama.
Entah kenapa, sekarang semesta ini
jadi menyebalkan. Harusnya aku tahu, untuk menyatukan dua orang dalam satu hati,
tidak diperlukan orang ketiga. Semua menjadi salah karena ini bukan apa yang
aku rencanakan. Cerita yang harusnya bagus ini terpaksa jadi berantakan,
padahal kerangka ceritanya sudah tersusun rapi dan tinggal ku ceritakan saja.
Grian sekarang sedih. Ia telah
kehilangan belahan hatinya yang sedari awal memang kuciptakan khusus untuknya.
Kini ia hanya bisa diam dan melihat orang yang ia kasihi bahagia dengan orang
lain. Cerita ini mulai menjadi terlalu realistis dan semestanya mulai berjalan
di luar kendali.
Aku tidak tahu lagi apa yang harus
kulakukan untuk membantu Grian. Menolongnya merebut Jehan kembali atau
menghadirkan orang lain untuk mengisi kekosongan hatinya. Tapi, hati bukanlah
mainan yang bisa diisi orang lain sebagai penggantinya begitu saja. Maka,
cerita ini mulai mencapai klimaksnya, ia harus merebut Drupadinya kembali.
Grian segera berangkat menemui Jehan,
ia harus memastikan siapa Pandawa yang akan ia pilih. Dengan hati yang agak
gentar, ia tetap memberanikan diri. Karena itu lah sifat dari tokoh utama yang
aku hadiahkan kepadanya.
Grian dan Yona berhadap-hadapan satu
sama lain dengan Jehan berada di antara mereka. Jehan harus memilih satu dari
mereka, karena isi ruang hatinya hanya cukup untuk satu. Namun, Jehan tampaknya
tidak perlu pusing untuk menentukan pilihan tersebut. Ia selalu memilih Yona. Tidak
peduli berapa kali pun diulang kembali, pilihannya tetap Yona. Grian sudah
tidak bisa melakukan apa-apa lagi karena Jehan sudah memilih. Diperjuangkan pun
juga percuma, karena yang namanya memperjuangkan suatu hubungan, tidak bisa
sendirian.
Kini, Grian semakin hancur. Ia tidak pantas
lagi menyandang gelar tokoh utama karena ia telah kalah. Atau mungkin benar dia
tokoh utamanya, hanya saja ia tidak mendapat akhir yang bahagia. Mungkin, dari
sini juga Grian akan mendapatkan kekuatan barunya, yaitu keteguhan hati,
walaupun aku tahu itu tidak akan butuh waktu yang sebentar.
Dengan begitu, aku mengakhirinya. Seluruh
semesta yang kubuat dalam semalam itu akan berakhir bersamaan dengan aku
menutup buku catatan ini. Entah, untuk kedepannya apabila aku membuka buku ini
lagi dan menciptakan semesta baru, aku mungkin akan menjadikan ini pelajaran.
Untuk Grian, aku hanya ingin
mengucapkan terimakasih dan semoga lekas sembuh. Aku tidak tahu harus
memberikan apa lagi untukmu, tidak tahu apa yang akan dilakukan lagi ke
depannya bersamamu, pokoknya aku tidak tahu. Yang aku tahu, kalau kita
sama-sama capek. Capek dengan semesta yang tidak terkendali ini. Sekali lagi, akan
aku katakan "aku mengakhirinya di sini".
0 Komentar