Mendekati Tengah Malam


Mendekati tengah malam, huruf demi huruf mulai terangkai dalam suatu kertas digital membentuk rangkaian kata. Rangkaian kata tersebut berkumpul membentuk kalimat, kemudian paragraf, dan seterusnya. Sebuah suara deras antara benturan jari dengan simbol-simbol pada suatu papan hitam menjadikannya sesuatu yang mungkin akan dapat menyampaikan isi hati dari apa yang ingin ditulisnya.

Sebuah benda bulat hitam yang menggantung di kedua telinganya pada saat itu menjadi satu-satunya hal yang dapat menemaninya pada malam hampir tengah malam itu. Tak ada suara lain yang dapat didengarnya, meski hanya dia seorang yang berada di ruangan itu. Tak ada suara lain, meski ia menginginkan hal itu.

Jari-jarinya dengan tangkas melompat dari simbol yang satu ke simbol yang lain dengan lincah, menimbulkan irama ketukan musik yang tidak jelas akan mengarah ke mana. Pada kenyataannya, tidak ada kepastian dalam apa yang akan ia tulis itu. Sebenarnya, ia sendiri tidak yakin dengan apa yang ia lakukan dengan jari-jarinya itu. Semuanya seolah terjadi begitu saja. Satu-satunya hal yang pasti di dalam ruangan itu adalah perasaannya. Perasaan bahwa ia ingin sendiri, bahwa ia ingin menikmati kesehariannya tanpa ada orang lain yang mengganggu.

Wajahnya terlihat serius. Matanya terus menatap tajam pada tiap-tiap kata yang ia ketik, terus mengikuti ke mana kata itu akan melaju. Perhatiannya tak terelakan. Barang sekalipun tidak. Kemudian, di tengah kebisingan irama ketukan jari itu, tiba-tiba ia terhenti. Wajahnya menunjukan rasa ketidakpuasan. Ia berhenti pada satu titik. Terdiam pada sebuah kata yang seharusnya dapat ia ceritakan lebih baik daripada ini.

Berhenti dalam keputusasaan, ia memutuskan untuk menegak secangkir teh manis hangat yang nyatanya sudah tidak terlalu hangat lagi. Imaji mengundang kilasan-kilasan ingatan yang terpendam selagi ia menghirup cangkir teh manis hangat itu. Satu-satunya hal yang mungkin ia sadari hanyalah bahwa ia sendiri, duduk bersila menatap sebuah layar cahaya yang tidak bisa ia teruskan lagi isiannya apa.

Wajahnya kemudian berpaling ke sekaliling ruangan. Memeriksa satu per satu setiap benda disekelilingnya. Mencari inspirasi. Tidak satu benda pun, tidak satu sudut pandang pun ia temukan dalam ruangan itu. Tidak ada kata-kata yang akan terbang melesat masuk ke dalam pikirannya di sana. Dalam ruangan itu, dia hanya sendiri. Benar-benar sendiri.

Wajahnya kembali menajdi serius. Sekarang ia mulai berpikir. Dia mulai tidak yakin dengan perasaannya yang menutut kesendiriaan. Sekarang ia ingin teman. Seorang teman saja sudah cukup, tidak perlu banyak, yang penting ia punya teman. Tanpa berpikir panjang, ia langsung pergi meninggalkan kata-kata itu menggantung di dalam ruangan tanpa tahu akhir dari cerita yang ditulisnya seperti apa.

Aku dan Keseharianku

 

Posting Komentar

0 Komentar