Karya Yoga Alfauzan
Wahai puan, atau siapa pun yang sedang membaca ini dengan napas setengah sadar,
ketahuilah,
aku sedang tidak merasa perlu menjadi bagian dari keramaian yang terlalu sering melupa dirinya sendiri.
Bukan karena aku kecewa,
atau terlanjur merajuk pada masa lalu yang pahit,
tapi karena aku ingin diam,
seperti langit senja yang membiarkan awan lewat tanpa komentar.
Di jalanan yang riuh,
di bangku-bangku yang disesaki percakapan setengah basa-basi,
aku duduk
dengan kepala yang tidak ingin mengangguk
dan hati yang tidak ingin menyangkal.
Aku tahu aku hidup di dunia yang sibuk,
dengan jadwal yang lebih padat dari perasaan manusia itu sendiri,
tapi tak bisakah aku sebentar—menepi,
tanpa harus ditanya,
tanpa harus dikejar kata “kenapa”?
Aku tidak sedang hancur
tidak pula mengharapkan tangan yang menyentuh bahu lalu bilang:
"semua akan baik-baik saja."
Karena kadang,
baik-baik saja itu hanyalah kata penenang yang tak punya akar,
dan aku sedang tidak ingin menanam apapun.
Aku ingin seperti batu yang diam di sungai,
tak peduli seberapa deras air menyentuhnya,
ia tetap batu—ia tak berubah,
ia hanya menunggu sampai waktu tak punya nama.
Aku ingin seperti tiang listrik
yang tak pernah terlibat dalam obrolan siapa pun,
tapi tanpanya, malam terlalu gelap untuk dibaca.
Begitu pula diriku,
ingin hadir tanpa perlu diperhatikan,
ingin ada tanpa perlu diterjemahkan.
Aku tak sedang mencari jawaban,
juga tak sedang menyusun pertanyaan.
Yang kuinginkan hanyalah:
bernafas tanpa naskah,
berdiri tanpa makna,
melihat langit tanpa mengharapkan pertanda.
Jika kelak aku kembali bicara,
itu bukan karena aku ingin didengar—melainkan karena diamku sudah cukup,
dan sunyi telah menyelesaikan tugasnya.

0 Komentar