G 30 S, Sang PKI yang Tertuduh Mati

 


Judul Buku                    : Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto

Judul Asli                   : Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia

Penulis                           : John Roosa

Penerjemah                : Hersri Setiawan

Penerbit/Tahun Terbit    : Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra

Tahun Terbit / Cetakan  : 2008/Cetakan I

Jumlah Halaman           : xxiv + 392 hlm

ISBN                         : 9789791757904

 

Sejarah ditulis oleh para pemenang, begitulah yang dikatakan Winston Churchill yang kemudian dikutip dalam buku Dan Brown yang berjudul "The Da Vinci Code" (Ada pula yang menganggap kutipan tersebut pertama kali dikemukakan oleh Napoleon). Sejarah mencatat, 56 tahun sudah kita mengenang peristiwa G 30 S/PKI dan selama itu juga peristiwa tersebut menjadi sejarah mutlak Bangsa Indonesia. Cerita-cerita para Jendral yang dibunuh dengan keji di lubang buaya menjadi kisah pasti yang sudah diceritakan sejak kita duduk di bangku sekolahan. Dalam kisah tersebut sudah jelas, PKI memainkan peranannya sebagai antagonis utama dalam cerita.

John Rossa, seorang profesor dari University of British Columbia, menawarkan perspektif lain dalam bukunya yang berjudul "Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto". Buku yang hampir mendapatkan pembredelan dan daftar panjang 143 kesalahan dari Kejaksaan agung itu menguak sebuah rezim politik paling berdarah dan paling kuat dalam sejarah Indonesia modern, rezim Orde Baru. Menjadi sukar, namun pasti. Meruntuhkan juga menimbulkan kepercayaan baru. Dan yang lebih penting, mengaburkan cerita-cerita kepahlawanan militer atas prestasi luar biasanya menumpas PKI.

Bukti-bukti kejanggalan yang selama masa rezim Suharto dibungkam, memang baru banyak bermunculan setelah Reformasi. Cerita-cerita itu seperti menjerit-jerit keluar setelah 32 tahun dikubur oleh orba. Sebut saja dokumen Supardjo, wawancara Roosa dengan Hasan, tulisan-tulisan Muhammad Munir dan Iskandar Subekti yang tersimpan di Amsterdam, beberapa memoar, dan dokumen-dokumen rahasia AS yang sudah diumumkan.

 

Menggali Lubang Jenderal, Keberpihakan Dewi Fortuna

Hal yang paling mengejutkan adalah bagaimana cara Jenderal Angkatan Darat menjalin hubungan yang sistematis dengan pihak Amerika Serikat. Setidak-tidaknya hal ini telah berlangsung sejak 1958. Padahal, saat itu pemerintah sedang gencar-gencarnya mencanangkan politik luar negerinya yang bebas aktif.

Bergejolaknya perang dingin, nampaknya juga mendorong pihak Amerika Serikat untuk menghentikan perkembangan partai Komunis yang begitu pesat di Indonesia. Karena perkembangan partai besar itu akan mengakibatkan pergeseran tajam posisi strategis Amerika Serikat di Asia Tenggara. Marshal Green, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia pada 1965, menafsirkan bahwa keberhasilan G 30 S akan mengubah Indonesia menjadi negara komunis yang bersekutu dengan Uni Soviet dan Tiongkok. (hlm 15)

Dari 1958 sampai 1965, tidak tanggung-tanggung Amerika Serikat mengeluarkan sekitar $10 juta sampai $20 juta untuk bantuan militer Indonesia, termasuk biaya pendidikan. Banyak perwira yang dikirim ke Amerika Serikat untuk mendapatkan pelatihan militer di Fort Bragg dan Fort Leavenworth, sebagian dari mereka bahkan rela menjadi informan bagi militer AS. Dilatih, dipersenjatai, didanai, dan didorong oleh Amerika Serikat untuk menyerang PKI rupanya merupakan langkah cerdas yang ditempuh AS.

Dalam laporan CIA tahun 1968, menjelaskan bahwa di dalam kubu Jenderal Angkatan Darat telah membentuk suatu kelompok pemikir atau yang disebut Brain Trust. Kelompok ini terdiri dari lima Jenderal, yaitu Yani, Suprapto, Harjono, Parman, dan Sukendro. Brain trust dibentuk pada Januari 1965 untuk merundingkan situasi politik dan tindakan yang harus diambil Angkatan Darat. Kelompok ini yang kemudian akan menjadi cikal bakal adanya desas-desus Dewan Jendral dalam kubu Angkatan Darat.

Bantuan politik yang kuat dengan dukungan Sukarno serta massa yang begitu besar terhadap PKI awalnya memang membuat Angkatan Darat tak bisa melancarkan aksinya tanpa memicu perang saudara. Angkatan Darat haruslah muncul sebagai penyelamat Sukarno jika ingin menang, aksi kup yang gagal oleh PKI dianggap dalih yang ideal untuk kemenangan Angkatan Darat. Sadar dengan kemungkinan kecil akan hal itu, CIA melalui operasi black letter dan operasi media berusaha untuk menggiring PKI melakukan kup tersebut. Hingga, secara tidak disangka-sangka muncul Gerakan 30 September.

 

G 30 S sebagai hasil dari rencana Sjam dan Aidit

Aidit menangkap adanya isu Dewan Jendral yang berencana akan menggulingkan kekuasaan Sukarno. Disinilah si misterius Sjam akhirnya mulai memainkan peranannya ke permukaan bersama organisasinya, Biro Chusus. Ia tampil sebagai koordinator para perwira untuk memimpin gerakan--yang nantinya dinamakan Gerakan 30 September--melawan Dewan Jenderal.

Biro Chusus sendiri merupakan bada intelijen yang berada di luar tata organisasi PKI. Ia berada langsung di bawah naungan Aidit dan bersifat sangat rahasia. Hampir dari semua pimpinan PKI tidak mengetahui tentang Biro ini. Meskipun ada sebagian pimpinan partai yang mengetahuinya, mereka tetap tidak tahu bagaimana cara kerja Biro Chusus ini. Berdasarkan penjelasan Sjam di persidangan Mahmilub, Biro Chusus bertugas untuk memperluas jaringan dan kader di kubu militer untuk PKI.

PKI, yang saat itu, merupakan partai yang teroganisir dengan baik serta diketahui memiliki dukungan massa yang begitu besar membuat beberapa perwira seperti Untung, Latief, dan Soejono ikut ambil bagian dalam gerakan. Kesetiaan yang besar terhadap Sukarno, nampaknya juga merupakan faktor yang mendorong perwira-perwira tersebut untuk turut menghentikan Dewan Jenderal.

 

Pelaksanaan Gerakan, Ketidakharmonisan di Lapangan

Gerakan 30 September sepertinya tidak semenyeramkan seperti yang dikisahkan pemerintah hingga saat ini. Mereka justru lebih banyak mendapati kekacauan di dalam aksinya tersebut. Misalnya saja, Gerakan yang direncanakan terjadi pada 30 September itu justru baru terlaksana pada 1 Oktober pukul satu dini hari. Pasukan yang ditugaskan menculik para jenderal juga tidak pernah mendapatkan pelatihan dan ditunjuk secara mendadak. Alhasil, tiga Jenderal terbunuh dalam proses penculikan dan Nasution melarikan diri.

Supardjo, seorang Brigadir Jenderal yang akan menjadi penghubung antara G 30 S dengan Sukarno, bahkan baru dapat menemuinya pada pukul sepuluh pagi secara kebetulan. Mundur tiga jam dari jadwal. Pesan yang dibawa Supardjo seharusnya untuk meminta dukungan Sukarno terhadap gerakan, namun hal tersebut ditolak mentah-mentah dan Sukarno justru meminta agar gerakan tersebut dihentikan.

Pengumuman yang disiarkan di radio RRI pun juga terdengar aneh. Pernyataan tujuan gerakan ada untuk melindungi Sukarno pada pengumuman pertama malah berubah untuk menggulingkan kekuasaan Sukarno dan kabinetnya pada pengumuman berikutnya. Diumumkannya Dewan Revolusi yang tidak disebut dengan jelas tujuannya juga makin menimbulkan kebingungan terhadap masyarakat saat itu. Mereka jadi tidak tahu, apakah harus mendukung aksi tersebut atau tidak.

Tidak hadirnya Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang seharusnya membuka dapur-dapur umum juga menimbulkan permasalahan. Akibatnya, beberapa pasukan yang sudah tidak bisa menahan diri sedari dini hari hingga sore menyerahkan diri menuju Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat).

 

Suharto, Sang Pahlawan Negara dan PKI yang Tertuduh Mati

Gerakan yang tidak teroganisir dengan baik itu segera tumbang secepat kemunculannya. Satu persatu orang yang terlibat dalam gerakan pun diburu dan ditangkap. Suharto yang memimpin Kostrad, tempat yang tidak dijaga pada saat meletusnya gerakan, bersama beberapa pasukan lainnya mulai kembali merebut tempat-tempat yang telah diduduki G 30 S.

Menurut pengakuan Latief, salah satu pimpinan gerakan, ia sebenarnya telah memberitahu Suharto mengenai gerakan tersebut pada malam-malam sebelum aksi. Hal ini lah kemungkinan yang langsung dijadikan Suharto sebagai dalih pemberontakan oleh PKI. Kantor-kantor media mulai diduduki dan dipaksa untuk mepropagandakan PKI sebagai penjahat utama.

Seorang anggota politbiro PKI, Iskandar Subekti, mengakui bahwa banyak orang-orang dari PKI yang tidak tahu persis mengenai gerakan tersebut. Dalam rapat besar, Aidit memang pernah menyebutkan gerakan yang akan dilakukan oleh sekelompok perwira progresif dan partai setuju untuk memberikan dukungan politis. Tapi, Iskandar dan para pimpinan PKI lainnya merasa tidak pernah merencanakan aksi tersebut.

Masyarakat nampaknya sangat memercayai berita-berita yang disampaikan media. Dengan cepat, munculah benih kebencian terhadap orang-orang yang terhubung dengan PKI. G 30 S dianggap sebagai suatu aksi pemberontakan besar terhadap Sukarno dan pembunuhan Jenderal dipercayai sebagai suatu proses yang keji.

Sebenarnya dokumen hasil visum para dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto atas jasad para perwira di Lubang Buaya tidak diumumkan ke publik. Dokumen tersebut baru berhasil ditemukan oleh seorang ilmuwan dari Cornell University pada tahun 1980an. Melalui sumber tersebut terungkap fakta bahwa para perwira tersebut terbunuh dengan tembakan dan luka-luka tusukan bayonet. Mata mereka tidak dicungkil, jasadnya tidak disayat, diiris-iris ribuan kali dan tidak pula dimutilasi seperti yang ditudingkan surat kabar dan radio yang berada di bawah kontrol Angkatan Darat.

Pembunuhan orang-orang PKI setelah pecahnya gerakan tersebut juga tidak pernah mendapat perhatian yang berarti. Hanya ketujuh perwira yang terbunuh mendapat penghargaan tertinggi berbentuk monumen. John Roosa menyebut bahwa peristiwa pembunuhan tersebut sepatutnya mendapat perhatian lebih setelah pembataian massal pada peristiwa Holocaust.

Terlepas dari semua itu, kudeta merangkak yang dilakukan oleh Suharto berjalan dengan mulus. Ia tetap mempertahankan Sukarno sebagai Presiden hingga 1967 agar tidak terjadi kecurigaan adanya perebutan kekuasaan dari kubu Angkatan Darat.

Kegagalan G 30 S tidak lain adalah peruntungan AS di Indonesia. Semangat anti-kolonialisme mulai menghilang, dan anti-komunisme mulai melekat sebagai ideologi bangsa. AS kian menjadi lebih mudah untuk melakukan hubungan kerja sama dengan Indonesia, apalagi setelah Suharto menduduki kursi kepresidet. Melihat hal ini, penulis teringat perkataan Gusdur, "Pak Harto itu orang pinter, Loh. Jasanya untuk bangsa ini besar sekali. Walaupun, dosanya juga besar."

John Roosa benar-benar memaparkan analisanya mengenai G 30 S dengan baik dan  bahasa yang digunakan pun cukup ringan dan mudah dimengerti. Riset yang dilakukan juga terasa mendalam. Ia membuat kita bertanya-tanya, apakah peristiwa G 30 S/PKI yang selama ini kita kenal merupakan alur kisah yang sebenarnya? Meskipun, bukti-bukti yang ditampilkan dalam buku ini masih belum bisa menjawab semua persoalan dengan pasti.


Posting Komentar

0 Komentar